Hibata.id – Dugaan keterlibatan Kapolsek Marisa, Iptu Roby Andri Ansyari, dan Ajudan Kapolda Gorontalo, Ipda Christo M, dalam praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Hulawa, Kecamatan Buntuliya, Kabupaten Pohuwato terus menjadi sorotan.
Pasalnya, dugaan keterlibatan ini akan menjadi preseden buruk bagi lembaga kepolisian yang sebenarnya menjadi pihak yang harus melakukan penertiban dari aktivitas ilegal tersebut. Artinya, alih-alih menindak, mereka justru seperti tergiur kilaunnya emas.
Man’uth M. Ishak, Mantan Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Provinsi Gorontalo, mengatakan Gorontalo memang memilik banyak kekayaan sumber daya alam (SDA) yang memlibah, temasuk logam mulian (emas).
Namun, kata dia, Gorontalo kini berada di ujung krisis sosial dan lingkungan yang semakin memburuk. Pasalnya, SDA yang melimpah itu justru berbalik menjadi sumber ketidakadilan, dan menjadi pemicu konflik sosial dan ketimpangan.
“Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah memang menggiurkan, sehingga tidak heran banyak pihak yang berebut untuk mengamankan keuntungan dari situ,” ujar Man’uth, Sabtu (01/02/2025).
Namun, di balik kilau emas, masyarakat kini terperangkap dalam ancaman besar. Man’uth menyoroti dua dampak utama: kerusakan lingkungan akibat pertambangan ilegal yang tak terkendala dan meningkatnya tekanan dari ‘juragan’ penerima upeti yang semakin menggila.
“Awalnya, tambang rakyat dikelola secara manual, tetapi kini telah bertransformasi dengan alat berat. Bukan karena kemauan penambang, melainkan karena ketamakan para juragan yang menuntut setoran besar,” tambahnya.
Ia bilang, masyarakat yang terjebak dalam sistem ini kini harus berjuang keras mencari cara agar bisa memenuhi setoran yang kian tinggi. Sementara aparat yang seharusnya menegakkan hukum diduga ikut bermain dalam skema pertambangan ilegal ini.
“Jika dugaan keterlibatan Kapolsek Marisa dan Ajudan Kapolda Gorontalo terbukti, ini akan menjadi tamparan keras bagi institusi kepolisian. Fenomena itu seperti lingkaran setan kecemasan,” ujarnya.
Man’uth mengutip teori sosial tentang ‘ironi institusional’, di mana lembaga yang seharusnya memberikan rasa aman, justru menjadi sumber ketidakamanan bagi masyarakat. Apa lagi, evaluasi kinerja kepolisian dalam 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran hanya mendapat skor 4 dari 10.
“Ini membuktikan bahwa kepercayaan publik terhadap aparat semakin menurun,” ucapnya.
Menurutnya, ketidakpercayaan terhadap kepolisian semakin diperparah oleh serangkaian insiden, seperti kebakaran kantor Bupati Pohuwato, perusakan kantor DPRD, hingga penyerangan kantor kepolisian.
“Ketidakadilan yang dibiarkan akan memunculkan letupan sosial yang lebih besar,” tegas Man’uth, yang juga mantan Presiden BEM Universitas Gorontalo.
Menurut Man’uth, seharusnya kepolisian menjadi pelindung bagi rakyat, bukan malah menjadi ancaman. Namun, beredarnya kabar mengenai permintaan upeti dalam jumlah besar justru memperjelas bahwa korupsi sudah mengakar kuat di tubuh aparat.
“Jika keterlibatan oknum polisi dalam PETI ini benar adanya, maka ini bukan sekadar masalah individu, melainkan gambaran dari korupsi terstruktur dalam tubuh kepolisian,” ujar
Man’uth mengingatkan bahwa masyarakat bisa saja mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Sejarah membuktikan bahwa kondisi seperti ini sering kali berujung pada ketidakstabilan sosial yang sulit dikendalikan.
Man’uth mendesak pemerintah pusat dan pimpinan Polri untuk segera mengambil tindakan tegas, bukan sekadar memberikan wacana atau sanksi ringan.
“Jika benar ada keterlibatan aparat dalam PETI, mereka harus diberhentikan dan diproses hukum. Tindakan tegas adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap aparat,” tegas Man’uth.
Man’uth mengingatkan bahwa Gorontalo kini berada di persimpangan jalan: apakah akan terus membiarkan emas menjadi sumber ketamakan yang menghancurkan, ataukah akan menata ulang tata kelola SDA demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
“Jika tidak segera ada perubahan, kilau emas itu hanya akan membawa lebih banyak cemas,” tandas Man’uth