Oleh: Aditya Alta, Center for Indonesian Policy Studies dan Maria Dominika Mediana R B
Peningkatan produktivitas pertanian tidak hanya berdampak secara langsung pada kinerja sektor pertanian, tapi juga pada kesejahteraan petani dan angka kemiskinan di Indonesia.
Menurut laporan terbaru “Indonesia Poverty Assessment” dari Bank Dunia, sektor pertanian serta sektor jasa dengan nilai tambah rendah–seperti pekerja kios dan restoran, pekerja kebersihan, dan pedagang kaki lima–menjadi roda penggerak utama pengentasan kemiskinan.
Sayangnya, di tengah sumbangsih positif sektor pertanian terhadap angka kemiskinan serta pertumbuhan ekonomi nasional, kesejahteraan petani masih menjadi tanda tanya.
Kegiatan pertanian yang cenderung bersifat padat karya (banyak menyerap tenaga kerja dengan upah rendah) juga memiliki produktivitas yang cenderung rendah. Produktivitas pekerja pertanian Indonesia (kontribusi pekerja terhadap keluaran hasil pertanian) hanya senilai US$3.419 (Rp 50,83 juta) per pekerja pada 2019. Ini lebih kecil dari Cina (US$5.281 per pekerja) dan Thailand (US$4.274), dan sedikit lebih tinggi dari Vietnam (US$3.074 per pekerja).
Bank Dunia menyebut, produktivitas yang rendah membuat 75% rumah tangga sektor pertanian dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan tidak mampu menyokong kebutuhan mereka dan keluar dari perangkap kemiskinan. Padahal, tenaga kerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor dengan tenaga kerja terbesar. Ada sekitar 28,6% angkatan kerja berkecimpung di sana.
Berbagai kendala yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas pertanian antara lain adalah kurangnya kualitas penyuluhan pertanian, keterbatasan akses pasar, dan kesenjangan infrastruktur. Ada juga masalah seperti kepemilikan lahan yang semakin kecil, kesulitan akses kredit, hingga biaya logistik pangan yang tinggi.
Kontribusi maksimum, pemasukan minimum
Bank Dunia menguraikan, sektor pertanian berkontribusi sebesar 53% terhadap pengurangan kemiskinan di wilayah pedesaan di Indonesia. Kemiskinan di wilayah pedesaan memang masih mendominasi tingkat kemiskinan nasional dengan angka 12,36% per September 2022.
Selain itu, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang sebesar 13,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2021.
Namun, kontribusi sektor pertanian terhadap penurunan angka kemiskinan serta PDB belum diiringi dengan peningkatan nilai tambah yang signifikan bagi para pelaku di dalamnya. Rata-rata pemasukan bersih pekerja di sektor pertanian berkisar di Rp 1,5 juta per bulan pada 2022.
Nilai ini memang tak termasuk dalam kategori miskin menurut standar garis kemiskinan di pedesaan versi BPS yang sebesar Rp 484.209 per bulan. Namun, pendapatan rata-rata tersebut masih paling rendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya.
Rendahnya kesejahteraan petani terlihat dari pengeluaran rumah rangga pertanian (RTP) yang masih didominasi oleh pengeluaran untuk makanan sebesar 57,66%, dibandingkan dengan pengeluaran untuk nonmakanan sebesar 42,34%. Hal ini mengindikasikan petani masih perlu berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan makanan.
Tingkat pendidikan penduduk usia lima tahun ke atas di rumah tangga usaha pertanian dan rumah tangga buruh tani pun masih rendah. Sekitar 29,57% dan 29,69% dari populasi masing-masing tergolong rumah tangga tidak sekolah, dan sebanyak 29,70% dan 31,01% hanya tamat sekolah dasar.
Produktivitas tak sebanding
Selama ini produktivitas dan kesejahteraan petani ditakar menggunakan Nilai Tukar Petani (NTP). NTP adalah perbandingan harga yang diterima petani dan harga yang harus dibayarkan oleh mereka.
Secara nasional, berdasarkan data BPS, angka NTP di subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, serta perikanan hanya naik sebesar 0,61% dari tahun 2021 ke tahun 2022. Sebagai perbandingan, NTP naik 4,93% pada tahun sebelumnya.
Namun, data BPS menunjukkan, meskipun indeks harga yang diterima petani melalui komoditas produksinya meningkat sebesar 5,92% pada 2022, indeks harga yang dibayar oleh petani untuk konsumsi rumah tangga juga naik hingga dengan jumlah yang hampir sebanding, yaitu mencapai 5,28%. Pembayaran konsumsi rumah tangga mencakup makanan, minuman, dan perlengkapan rutin rumah tangga.
Di sisi lain, sudah banyak analisis yang menyebut NTP belum dapat menggambarkan kesejahteraan petani secara utuh. Sebab, NTP hanya mengukur harga tanpa mempertimbangkan penghasilan yang diterima para petani berdasarkan hasil panen dari luasan lahan garapannya masing-masing. Dengan luas lahan garapan yang relatif kecil, memang peran harga terhadap penerimaan petani bisa jadi tidak signifikan.
Risiko cuaca ekstrem serta bencana alam pun menambah risiko gagal panen. Hal tersebut semakin mengurangi nilai tambah kegiatan pertanian. Konteks geografis dan ekologis turut menjadi tantangan karena sistem budi daya dan strategi mata pencaharian (livelihoods) yang sangat dipengaruhi faktor bawaan, seperti ketinggian lahan, ketersediaan sumber air, dan kesuburan tanah.
Pemerintah mengalokasikan sekitar 2-3% dari PDB setiap tahunnya, atau sekitar Rp 15,31 triliun dari APBN 2023 untuk sektor pertanian. Subsidi pupuk juga merupakan anggaran subsidi non-energi terbesar, yakni 25-30% dari anggaran per tahun.
Kementerian Pertanian juga mengguyur anggaran peningkatan produktivitas, seperti bantuan alsintan (alat dan mesin pertanian), pembangunan jaringan irigasi, dan pengembangan keahlian petani. Jumlahnya sekitar 10% dari anggaran institusi per tahunnya.
Sayangnya, kebijakan pertanian tersebut tampak belum memprioritaskan peningkatan produktivitas. Anggaran subsidi pupuk, misalnya, berisiko memicu petani untuk fokus memproduksi tanaman bernilai rendah, namun justru mendapatkan anggaran jauh lebih tinggi dibandingkan pos anggaran Kementerian Pertanian lainnya. Lahan panen padi yang luas serta kebutuhan pupuk yang cukup intensif dari pertanian padi menyebabkan sekitar 60% permintaan pupuk oleh petani diserap oleh pertanian padi.
Kondisi ini memunculkan urgensi pentingnya pendekatan baru untuk pembangunan pertanian: dari yang bertumpu pada dukungan harga (market price support) ke peningkatan produktivitas dan nilai tambah. Caranya bisa melalui modernisasi, penggunaan teknologi, dan dukungan pembiayaan serta akses pasar.
Apa yang bisa dilakukan?
Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Pertama, perlunya peningkatan upaya untuk mengembangkan dan menggalakkan penggunaan benih unggul.
Pengembangan benih semestinya tidak hanya digalakkan untuk lembaga riset negara, tetapi juga perusahaan swasta. Untuk itu, regulasi yang merangsang usaha-usaha penangkaran dan perbanyakan benih sangatlah krusial.
Pada akhirnya, benih merupakan barang modal yang menentukan kualitas dan nilai produk petani. Usaha untuk memastikan efisiensi dalam produksi dan distribusinya amat penting.
Kedua, akses petani pada infrastruktur irigasi masih perlu ditingkatkan. Saat ini masih ada ketimpangan: hanya sekitar 50% dari petani di luar Jawa yang memiliki akses irigasi.
Di sisi lain, pembangunan irigasi di luar Jawa juga perlu memperhatikan faktor geografis, seperti kemiringan lahan.
Ketiga, perlu perubahan paradigma dalam memperlakukan pelaku usaha di sepanjang rantai pertanian (seperti pedagang pengumpul dan penggilingan) sebagai aktor penting yang turut menentukan nilai tambah produk petani. Hal ini bisa dilakukan, misalnya, dengan memberi insentif bagi mereka untuk berinvestasi pada fasilitas pengolahan pascapanen.
Keempat, upaya peningkatan produktivitas pertanian memerlukan sokongan investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI), terutama mengingat rendahnya realisasi FDI di sektor pertanian. Jumlahnya hanya mencapai 3%-7% dari total realisasi FDI di Indonesia selama 2015-2019.
Relaksasi kebijakan penanaman modal di sektor pertanian penting untuk mendorong investasi di bidang pengembangan teknologi, transfer pengetahuan, hingga integrasi yang lebih dalam pada rantai nilai global.
Pada akhirnya, keterbukaan ekonomi serta kepastian iklim investasi sektor pertanian dapat meningkatkan aspek keterjangkauan serta aksesibilitas pangan masyarakat.
Terakhir, seiring pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktural, peran sektor pertanian dan ekonomi perdesaan memang normal mengalami penurunan. Hal ini merupakan tren yang terjadi di mana-mana seiring dengan industrialisasi dan pembangunan perkotaan.
Oleh karena itu, tetap akan ada pihak-pihak yang rentan tertinggal, misalnya buruh tani dan petani penggarap. Keterbatasan aset dan sumber daya yang dimiliki kelompok rentan ini juga menyulitkan upaya peningkatan produktivitas.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dapat merumuskan strategi peningkatan kesejahteraan yang bertumpu pada pembangunan perdesaan dan kota-kota satelit demi meningkatkan kesempatan ekonomi, serta bantuan sosial secara terarah sebagai jaring pengaman.
Aditya Alta, Researcher, Center for Indonesian Policy Studies dan Maria Dominika Mediana R B, Research Trainee at Center for Indonesian Policy Studies
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.