Hibata.id – Pelayanan kesehatan di Kota Gorontalo kembali kembali menjadi buah bibir. Kali ini, Wali Kota Gorontalo Adhan Dambea turun tangan langsung—dengan sikap yang jauh dari kompromi.
Awal masalahnya datang dari Kelurahan Molosipat U, Kecamatan Sipatana. Warga mengeluhkan Puskesmas Sipatana yang tak mampu menyediakan ambulans pada saat genting.
Dalam situasi darurat, ketidaksiapan seperti itu bukan sekadar “kelalaian teknis”—melainkan bisa menentukan hidup dan mati seseorang.
Adhan langsung bereaksi, tidak menunggu laporan tertulis, tidak menunggu evaluasi bertahap.
Ia meminta Kepala Dinas Kesehatan menonaktifkan Kepala Puskesmas (Kapus) Sipatana, Rita Bambang, secara cepat dan tegas.
“Kejadian di Molosipat U, Kepala Puskesmas tidak menyiapkan mobil (ambulans). Makanya saya suruh nonjob-kan orangnya karena kita tidak ingin seperti itu,” ujar Adhan kepada awak media, Ahad, 23 November 2025.
Langkah itu memang drastis, tapi bagi Adhan tampaknya belum cukup. Ia melihat ada pola buruk dalam pelayanan kesehatan yang terus berulang—dan kali ini menyasar rumah sakit swasta.
Laporan terbaru menyebut RS Multazam diduga menolak menangani pasien dalam keadaan koma. Alih-alih memberikan perawatan darurat, rumah sakit justru meminta keluarga pasien memindahkannya ke fasilitas kesehatan lain.
Jika benar, itu bukan sekadar buruk—melainkan mengkhianati prinsip dasar kemanusiaan dalam profesi kesehatan.
“Kemarin ada lagi keluhan masyarakat soal pelayanan di Rumah Sakit Multazam. Orang sudah koma, tidak dilayani, bahkan cuma disuruh pindah ke Rumah Sakit Siti Khadijah,” kata Adhan dengan nada tinggi.
Di titik ini Adhan tak lagi menahan diri. RS Multazam menerima ultimatum keras. Ia memerintahkan Kepala Dinas Kesehatan memanggil direktur dan yayasan rumah sakit untuk dimintai pertanggungjawaban. Dan ancamannya bukan basa-basi.
“Kalau tidak (maksimal melayani masyarakat), saya akan menyurat ke kementerian minta ditutup itu rumah sakit,” tegasnya.
Senin besok, manajemen RS Multazam dijadwalkan hadir untuk memberi penjelasan. Satu hal sudah jelas, tidak ada lagi ruang toleransi bagi pelayan kesehatan yang abai.
Adhan mengirim pesan yang nyaring—negara tidak boleh kalah dari buruknya manajemen fasilitas kesehatan, sekecil apa pun, di tingkat mana pun.
Apakah langkah Adhan ini akan menggerakkan perubahan nyata? Atau justru polemik baru di sektor kesehatan akan bermunculan?
Jawabannya menunggu waktu.
Tapi untuk saat ini, satu hal pasti: Wali Kota Gorontalo ingin memastikan bahwa rumah sakit dan puskesmas bekerja untuk rakyat—bukan sebaliknya.












