Hibata.id – Saat ini lagi heboh, Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, resmi melarang Gorontalo Half Marathon (GHM) 2025 menggunakan jalan kota sebagai lintasan lari.
Keputusan ini bukan sekadar teknis, tapi jadi semacam “sinyal tegas” untuk Pemerintah Provinsi Gorontalo.
Bukan rahasia lagi, publik masih mengingat bagaimana pelaku UMKM yang berjualan di trotoar Kota Gorontalo sempat dilarang oleh Pemprov.
Alasan saat itu adalah UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ dan PP Nomor 34 Tahun 2006 dengan klaim bahwa ruas jalan tersebut adalah milik provinsi.
Padahal, ada aturan lain yang juga resmi — Permen PUPR Nomor 03/PRT/M/2014 — yang dengan jelas memperbolehkan UMKM berjualan di trotoar selama tidak permanen.
Dan faktanya, mayoritas UMKM di Kota Gorontalo cuma berjualan malam hari, tanpa bangunan permanen, dan sekadar mencari rezeki buat dapur tetap ngebul.
Dari situ, publik mulai paham kenapa Adhan terlihat begitu tegas. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk pembelaan terhadap warga kecil yang selama ini berusaha bertahan hidup di tengah ekonomi yang makin berat.
Tapi urusan UMKM bukan satu–satunya pemicu larangan GHM 2025 lewat jalan kota. Ada faktor yang lebih panas: panitia dianggap tidak kooperatif dengan Pemkot.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Gorontalo, Hermanto Saleh, mengungkapkan kekesalannya karena panitia tidak datang dalam pembahasan teknis meski sudah diundang.
“Sampai dengan hari Kamis, panitia tidak datang untuk membahas teknis jalur lari. Padahal, dari Senin pagi surat mereka (Panitia) sudah kami terima, dan saat itu juga saya langsung perintahkan Kabid untuk mengundang panitia,” ujar Hermanto.
Menurut Hermanto, tanpa pemaparan teknis dari panitia, Dishub tidak punya dasar untuk melakukan kajian lalu lintas maupun menyampaikan rekomendasi ke pimpinan daerah.
“Kami selaku dinas yang bertanggung jawab kan harus tahu rutenya. Supaya jelas bagaimana saya mau kasih pertimbangan ke pimpinan kalau panitianya tidak memaparkan rute-rutenya,” tegas Hermanto.












