Hibata.id – Sore itu, lalu lintas di pusat Kota Gorontalo terlihat biasa-biasa saja. Namun di balik keriuhan lampu merah dan deru kendaraan, petugas Satpol PP dan Dinas Sosial Kota Gorontalo tengah bergerak diam-diam.
Target mereka: para badut jalanan dan gelandangan yang dianggap mengganggu ketertiban kota. Tapi dari operasi itulah, tabir suram mulai tersibak—tentang anak-anak yang dipaksa mengemis dengan topeng kepolosan.
Senin, 12 Mei 2025, Pemerintah Kota Gorontalo menggelar razia besar-besaran terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Aksi ini dilakukan serentak di sejumlah ruas jalan protokol, dari kawasan bundaran hingga simpang padat lalu lintas.
Puluhan gelandangan, pengemis, hingga badut jalanan digelandang ke Rumah Singgah Ilomata, tempat khusus untuk penanganan sementara bagi PMKS di luar panti. Di sana, mereka akan didata, dibina, dan diberikan penguatan sosial. Tapi satu temuan membuat para petugas tercenung.
“Kami mendapati anak-anak diturunkan dari bentor, lalu diminta mengemis di titik-titik tertentu. Salah satu dari mereka mengaku hanya diberi uang Rp50 ribu setelah seharian bekerja,” kata Kepala Satpol PP Kota Gorontalo, Moh. Mulki Datau, dengan nada geram.
Empat anak berhasil diidentifikasi sebagai korban dugaan eksploitasi. Mereka berasal dari satu kelurahan di Kecamatan Dungingi. Modusnya: mereka dibekali celengan dan diminta berpura-pura menggalang dana untuk pembangunan masjid.
Namun uang itu bukan untuk masjid, melainkan masuk kantong orang dewasa yang mengatur mereka di balik layar. Hal itu, katanya, langgar Pasal 23 dalam Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Ketertiban Umum.
“Pasal 23 jelas menyebutkan larangan eksploitasi, termasuk menarik penghasilan dari anak-anak dengan dalih mengemis atau mengamen. Sanksinya bisa berupa pidana kurungan minimal tiga bulan,” tegas Mulki.
Satpol PP mengaku akan melanjutkan kasus ini ke ranah hukum. Penyidik dari aparat penegak perda mulai menggali keterangan para korban dan mengidentifikasi pelaku yang mengkoordinasi eksploitasi tersebut.
Meski begitu, kasus ini menampar wajah pengelolaan sosial kota. Di saat wajah-wajah badut menghiasi jalan dengan warna dan senyum palsu, ada anak-anak yang dijadikan alat—bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk menghidupi kepentingan orang lain.
Kepala Dinas Sosial Kota Gorontalo, Irwansyah Taha menegaskan bahwa kegiatan ini difokuskan pada penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang marak di jalanan dan berpotensi mengganggu kelancaran lalu lintas.
“Penertiban ini dilakukan berangkat dari instruksi Wali Kota Gorontalo. Penertiban menjangkau para gepeng dan para badut yang beraktivitas khususnya di jalanan yang dapat mengganggu aktivitas perjalanan transportasi,” ujar Irwansyah Taha.
Bagi yang berdomisili di Kota Gorontalo, menurut Irwansyah, baik dewasa maupun anak-anak, akan diupayakan untuk masuk dalam program bantuan sosial apabila belum pernah menerima sebelumnya.
“Sedangkan bagi warga luar daerah, Dinsos akan berkoordinasi dengan keluarga maupun dinas sosial daerah asal agar dapat difasilitasi pemulangan,” pungkasnya.