Hibata.id – Bukan cuma tanah yang terkoyak di Dengilo. Di kecamatan yang terletak di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, itu, nyawa manusia ikut tergadai demi segenggam emas. Tambang emas tanpa izin—yang akrab disebut PETI—menggali lebih dari sekadar bukit. Ia menyisakan kehancuran, penderitaan, dan ketakutan yang nyaris tak terdengar.
“Di sini, banyak yang sudah meninggal, tertimbun, tapi tidak pernah muncul di berita,” ujar seorang perempuan warga Desa Karya Baru, suaranya tercekat. Ia enggan namanya dipublikasikan, mungkin karena sadar: ada kekuatan yang lebih besar dari sekadar hukum yang berlaku di Dengilo.
Menurutnya, kerusakan akibat PETI Dengilo jauh lebih parah dibanding tambang ilegal lainnya di Pohuwato, termasuk yang terkenal di Patilanggio. “Dapur rumah warga sampai roboh. Setiap hari alat berat lalu lalang di depan rumah. Bahkan semalaman pun mereka tetap bekerja,” tuturnya.
Dari malam hingga pagi, dentuman mesin dan gerungan ekskavator menjadi musik latar kehidupan warga Dengilo. Sepanjang jalan, alat berat terparkir seenaknya. Tanah-tanah yang dulu hijau kini compang-camping, digali tanpa jeda. Protes warga hanya berakhir di tumpukan kekecewaan.
“Kami sudah protes berkali-kali, tapi tidak ada hasil. Ada yang membekingi mereka. Setiap kami bicara soal banjir dan lumpur yang datang, mereka cuma bilang: itu takdir,” katanya, getir.
Seolah-olah nyawa yang melayang dan rumah yang ambruk adalah harga biasa untuk aktivitas tambang ilegal. Sementara para pelaku terus menambang dan menumpuk untung, warga menerima ampas: lumpur, longsor, dan ketakutan.