Hibata.id – Dalam rapat gabungan dengan DPRD Kabupaten Pohuwato pada Senin (28/04/2025), Sumitro Monoarfa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pohuwato, memaparkan kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan. Dalam pernyataannya, Sumitro mengungkapkan bahwa selain wabah malaria yang semakin meluas, aktivitas pertambangan tanpa izin yang tidak terkendali turut berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan di wilayah tersebut.
Menurut Sumitro, kolaborasi antara DLH dan Dinas Kesehatan untuk menangani masalah malaria telah dimulai sejak awal Februari 2025, saat kegiatan pencegahan di Kecamatan Patilanggio. Namun, meskipun upaya ini berjalan, dampak buruk kerusakan lingkungan, khususnya yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan, belum dapat dihentikan secara efektif.
“Persoalan pencemaran memang sudah berlangsung lama, dan kami sampai hari ini bukan hanya menangani malaria. Bahkan, alat berat seperti excavator telah turut menyumbang pada penyebaran penyakit di Pohuwato,” kata Sumitro, mengungkapkan kenyataan pahit yang selama ini tersembunyi.
Sumitro menegaskan bahwa akar permasalahan terkait penyebaran penyakit tidak hanya terbatas pada malaria, melainkan juga terkait langsung dengan aktivitas pertambangan yang selama ini beroperasi tanpa pengawasan yang memadai. Aktivitas tambang ini diduga telah lepas dari kontrol pihak berwenang, dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya semakin memperburuk kondisi kesehatan masyarakat.
Tekanan juga datang dari masyarakat sipil. Sumitro menyebut bahwa laporan terkait malaria yang disampaikan oleh Lembaga Advokasi Independen (LAI) dan mahasiswa yang mengunjungi DLH menunjukkan bahwa masalah pencemaran dan dampak kesehatan telah ada sejak lama. “Kami sudah melaporkan masalah ini ke Polres dan kementerian, dan laporan tersebut sudah menjadi acuan kami,” ujarnya.
Namun, meskipun laporan telah disampaikan setiap tahun, dampaknya belum tampak secara signifikan. Pencemaran, terutama pencemaran air, terus berlanjut tanpa ada tindakan tegas yang dapat menghentikan kerusakan lebih lanjut.
Sumitro mengidentifikasi dua wilayah dengan kerusakan lingkungan terparah: Desa Hulawa dan Dengilo. Desa-desa ini menjadi pusat pencemaran air akibat kegiatan pertambangan yang tak terkendali. “Hulawa adalah yang paling parah, dengan area kubangan yang luas. Patilanggio, meskipun belum seburuk itu, juga mengalami dampak yang cukup serius,” katanya.
Meskipun DLH mengklaim telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang longgar dan maraknya pertambangan liar telah menghancurkan lingkungan dan menyebarkan penyakit. Laporan-laporan yang disampaikan ke pihak berwenang seolah menjadi tumpukan kertas yang belum cukup memberi dampak dalam menghentikan aktivitas perusak yang terus berlangsung.
“Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi tantangannya sangat besar. Tanpa pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas, kerusakan ini akan terus berlanjut,” tambah Sumitro, menegaskan bahwa meskipun DLH berupaya keras, pekerjaan mereka belum bisa menghentikan laju kerusakan yang terjadi.