Penulis: Ikhsan Tutupoli/ Pengamat Ayam Potong
Hari itu, matahari bersinar garang di atas alun-alun. Suasana penuh harap bercampur tegang, seolah-olah Tuhan sedang menggoda manusia dengan sedikit drama politik. Di tengah kerumunan, berdirilah calon bupati, yang dua tahun sebelumnya di sapa Bupati oleh pendukungnya yang agak tengil.
Ia seorang pria flamboyan bernama La Saleh. Di hari pemilihan ia mengenakan jas putih bersih yang terlalu mengkilap untuk dipandang langsung, ia bak pahlawan yang baru turun dari lukisan. Aroma parfum mahalnya menari-nari di lubang hidung yang akan membuat bulunya offside lalu meninggalkan jejak ilusi bahwa kemenangan sudah di genggamannya.
Diskusi beberapa hari sebelumnya masih terngiang di kepala para tim suksesnya yang sebenarnya adalah lintah berjubah kecoak . “Aku akan mencintai kalian seperti aku mencintai daerah ini. Aku, La Saleh adalah jawaban atas doa-doa semua orang!,”
Teriakannya melesat ke angkasa, mengguncang sejuta hati para alien atau setidaknya bidadari yang sedang memelas pilu, itulah yang ia pikirkan.
Di sudut-sudut ruangan tim suksesnya terus memuji tentang kemegahan dan kekuatan Bosnya sambil berbisik genit untuk melancarkan agenda perampokan yang belum usai.
Tapi hari pemilihan, suara rakyat berkata lain.
Ketika hasil pilkada diumumkan, nama La Saleh tertulis di urutan kedua bukan pemenang, bukan pahlawan, hanya pecundang yang air mukanya telah lesuh. Lawannya, seorang pria biasa saja bernama Lopoes, yang selama kampanye hanya membagikan keripik singkong sambil senyum malu-malu dan berbisik cek inbox, keluar sebagai pemenang.
Tuan La Saleh terasa lebih berat dari beban hidup orang semiskin kita. Senyumnya yang biasanya penuh percaya diri kini melengkung aneh, seperti pisang setengah matang.
Tuan La Saleh menolak menerima kenyataan. Dengan suara yang lebih nyaring dari toa pasar, ia mendeklarasikan, “Pemilu ini adalah lelucon besar! Aku menuntut penghitungan ulang! Tidak mungkin aku kalah; rakyat mencintaiku!” Tim sukses di belakangnya berbisik, “Betul Boss” sambil menghitung laba dari kerja politik dengan strategi mencret.”
Ketika para tim suksesnya berseru, sebagian karena ingin melanjutkan kesuksesan, sebagian lagi karena takut ditagih soal uang serangan yang cukup riskan dengan jumlah data yang disetor sebelumnya.
Bersama Pak Naif, tuan La Saleh kemudian mendirikan markas kebenaran abadi, tempat ia dan pengikutnya berkumpul untuk merancang “strategi menuju MK”. Isinya; Mencetak stiker protes, dan membuat tagar viral tentang demokrasi yang dibajak menurutnya. Tapi saya yakin ide itu bukan dari dirinya melainkan dari para pembisik yang tebal muka lalu culas dalam prinsip.
Sementara itu, di sisi lain negeri, tuan Lopoes memilih diam. “Biarkan saja,” katanya kepada para pendukungnya yang sebentar lagi akan mengaji. “Semakin banyak ia bicara, semakin banyak orang sadar siapa dia sebenarnya.”
Benar saja Tuan La Saleh tidak menyerah. Di sebuah konferensi pers yang disetting pengikutnya, ia berseru, “Kalaupun aku kalah di dunia fana, aku tetap pemimpin di dunia ide!” Seseorang di barisan belakang bertanya pelan, “Apa maksudnya?” tapi tak ada yang tahu jawabannya, termasuk tuan La Saleh sendiri.
Mungkin saja yang dimaksud adalah Ide sapaan Bupati atau Bupati Utopia.
hihihihi.
Dengan jantung berdebar seperti drum band, tuan La Saleh pun akan terjun ke medan perang baru: Mahkamah Konstitusi. ia begitu yakin kalau tak kalah. menurutnya pleno KUPD yang telah dirilis 3 hari setelah pemungutan suara hanyalah konspirasi dari semesta yang tidak adil!” teriaknya sambil mengibaskan dasi yang tidak kalah panjang dengan visi misinya. “Aku pasti akan memenangkan gugatan ini, karena takdir telah salah memilih,”.
Tuan La Saleh berbicara seolah-olah dia seorang filsuf besar. katanya dengan suara yang dalam, “pemilu ini adalah ilusi yang disponsori oleh kekuatan gaib. Saya kalah, tapi saya yakin saya menang di dimensi lain. Hanya saja, dimensi itu tidak terhubung ke WiFi, jadi saya tidak bisa mengaksesnya.” jadi saya akan membawa perkara ini di MK. lanjutnya.
Ia berharap bisa membalikkan hasil pemilu seperti seseorang yang ingin balikan setelah diputuskan oleh sang kekasih.
Tuan La Saleh memutuskan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tim hukumnya sibuk menyiapkan argumen, meski sebagian besar anggotanya bingung apa sebenarnya bukti yang mau diajukan. Saat sidang, Tim Hukum Tuan La Saleh membawa “barang bukti” berupa video TikTok yang menunjukkan seorang warga mencoblos sambil bergoyang.
“Yang Mulia, ini adalah bukti nyata bahwa pemilu penuh kecurangan. Coba lihat gerakannya! Sangat mencurigakan,” ujarnya sambil menunjuk video itu di layar besar.
Hakim MK hanya bisa memijat pelipisnya. “Saudara Pemohon, apa hubungannya goyang TikTok dengan kecurangan pemilu?”
Pemohon menjawab, “Kalau pemilihnya goyang, hasilnya juga pasti goyang, Yang Mulia!”
Sidang menjadi kacau balau ketika salah satu saksi utama dari pihak Pak La Saleh, yang katanya “melihat kecurangan langsung,” ternyata malah mengaku tidak bisa hadir di TPS pada hari pemilihan karena sibuk memancing.
Salah satu momen paling epik terjadi ketika tim hukum Pak La Saleh menyerahkan bukti surat suara yang dianggap palsu. Hakimpun mengambil bukti itu dan membolak-baliknya, lalu berkata, “Saudara pemohon, ini bukan surat suara palsu melainkan hanya brosur penjualan beras 7000 karung.