Muh. Amier Arham – Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNG
Secara konseptual, pemerintah memiliki political will untuk meningkatkan mutu SDM melalui pembiayaan dengan mengalokasikan anggaran setidaknya 20 persen dalam APBN/APBD. Oleh karena itu, sektor pendidikan ditempatkan dalam kotak spending mandatory bersama sektor kesehatan, karena keduanya memang menjadi variabel penentu dalam menciptakan human capital. Human capital, atau akumulasi sumber daya manusia, memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi pembiayaan, spending mandatory bidang pendidikan masih terjaga, meskipun dalam praktiknya pencapaian angka 20 persen kerap disiasati dengan mengakumulasi seluruh anggaran yang beririsan dengan program pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan kedinasan yang melekat pada kementerian penyelenggara di luar Kementerian Pendidikan. Bahkan, unit cost per student body pada sekolah kedinasan lebih besar dibanding unit cost yang diterima siswa atau mahasiswa pendidikan reguler.
Selain itu, besarnya alokasi anggaran yang bersifat mandatory tidak sepenuhnya digunakan untuk pembiayaan langsung dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan, apalagi untuk perluasan layanan bagi seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, pembiayaan pendidikan lewat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum mencukupi, terlebih untuk sekolah vokasi.
Di tengah langkah pemerintah melakukan pergeseran anggaran (istilah pemerintah: efisiensi), sektor pendidikan juga ikut menjadi “korban”. Praktis, pembiayaan tidak hanya menyasar kegiatan rapat, perjalanan dinas, dan belanja nonproduktif lainnya, tetapi juga unit cost untuk kegiatan penunjang akademik di sekolah maupun perguruan tinggi turut mengalami pemotongan signifikan.
Di lingkungan perguruan tinggi, dampaknya sangat terasa. Biaya operasional dipangkas hingga setengah dari anggaran tahun sebelumnya. Kondisi ini memaksa pimpinan perguruan tinggi melakukan pengurangan biaya pelaksanaan Tri Dharma, khususnya kegiatan penelitian dan pengabdian. Padahal, tugas utama perguruan tinggi adalah mengembangkan ilmu pengetahuan melalui riset.
Menyusutnya anggaran riset dalam jangka panjang tentu akan berdampak pada terhambatnya pengembangan inovasi. Ironisnya, Indonesia merupakan negara dengan alokasi riset terhadap PDB yang sangat kecil, hanya 0,3 persen, jauh di bawah Singapura (2%) dan Malaysia (1%). Terbatasnya anggaran riset tidak dibarengi dengan penyesuaian target kinerja, yang tentu menjadi beban tersendiri bagi perguruan tinggi.
Harapannya, kondisi ini tidak berlanjut. Pemerintah perlu melakukan relaksasi anggaran agar mutu layanan satuan pendidikan di semua level tidak menurun. Pemerintah sejatinya wajib menempatkan pendidikan sebagai sektor prioritas, baik dari sisi kebijakan maupun dukungan anggaran yang memadai, termasuk untuk kegiatan riset.
Efisiensi anggaran juga berimbas pada Bansos PIP (KIPK). Kendati tidak terjadi penurunan kuota penerima, skemanya mengalami perubahan, yakni hanya memprioritaskan penerima PIP lanjutan yang berasal dari keluarga kategori desil 1–3. Padahal, masih banyak yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi namun terkendala biaya. Mereka ini adalah keluarga yang terdaftar dalam DTKS atau layak sebagai penerima KIPK, tetapi kuota tidak mengalami kenaikan dari periode sebelumnya.
Misalnya, mahasiswa UNG yang lulus SNBP sebanyak 1.993 orang, dan pelamar KIPK yang eligible sebanyak 1.210 mahasiswa. Artinya, 60 persen dari yang lulus di UNG memiliki kemampuan akademik baik namun kemampuan ekonomi orang tuanya terbatas. Dengan kuota nasional terbatas, perguruan tinggi diminta melakukan verifikasi faktual (verifal), bahwa penerima beasiswa KIPK adalah mereka yang sebelumnya penerima PIP saat SMA.
Hasilnya, hanya 675 mahasiswa yang lolos verifal. Selebihnya terancam gagal mengecap bangku kuliah. Kalaupun tetap lanjut, biasanya masuk dalam kelompok UKT rendah. Ini tentu berdampak terhadap PNBP perguruan tinggi, serta berimplikasi pada perbaikan dan peningkatan sarana serta mutu layanan.
Padahal, akses ke pendidikan tinggi merupakan jalan lebar untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Hal ini sejalan dengan pendapat Rolleston (2011) bahwa tingkat pendidikan memainkan peran signifikan dalam menentukan kesejahteraan rumah tangga, dan bahwa pendidikan tinggi memberi manfaat lebih besar dalam memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Ironisnya, lebih dari separuh lulusan SLTA belum dapat mengakses pendidikan tinggi karena keterbatasan biaya. Peluang kerja bagi mereka juga terbatas.
Akibatnya, pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan SLTA. Kondisi ini semakin memperlebar ketimpangan akses pendidikan. Mereka yang mengecap pendidikan tinggi memiliki peluang kerja dan pendapatan lebih layak, sedangkan yang tidak, kehilangan kesempatan meningkatkan pendapatan keluarga. Ketimpangan akses pendidikan secara otomatis berkontribusi terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia.
Leeuwen dan Földvári (2017), dalam artikelnya The Development of Inequality and Poverty in Indonesia, menyebutkan bahwa rendahnya akses pendidikan berdampak terhadap meningkatnya ketimpangan sehingga menurunkan laju penurunan kemiskinan.
Karena itu, daerah-daerah dengan persentase angka kemiskinan tinggi, seperti Gorontalo, mengalami penurunan angka kemiskinan yang makin landai karena ketimpangan distribusi pendapatan (gini ratio) yang tinggi. Ini berbeda dengan situasi awal berdirinya Gorontalo sebagai provinsi otonom, ketika distribusi pendapatan cenderung lebih rendah sehingga penurunan angka kemiskinan cukup akseleratif—dari 32 persen menjadi 16 persen dalam satu dekade.
Fakta ini menguatkan hipotesis Bourguignon (2003) dalam papernya The Poverty-Growth-Inequality Triangle, bahwa pertumbuhan dan perubahan ketimpangan memainkan peran utama dalam pengurangan kemiskinan. Selama pertumbuhan tidak inklusif dan distribusi pendapatan masih timpang, maka angka kemiskinan sulit dientaskan meskipun banyak program digulirkan.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, dibutuhkan intervensi afirmatif dari pemerintah daerah terhadap pembiayaan pendidikan, khususnya di lingkungan perguruan tinggi. Bagi keluarga dengan pendapatan pas-pasan, akses pendidikan tinggi di luar daerah menjadi hambatan. Maka, perguruan tinggi di daerah menjadi harapan utama.
Pemerintah daerah perlu hadir membantu kemajuan perguruan tinggi, karena mereka kerap lupa bahwa eksistensi perguruan tinggi di daerah punya andil besar dalam mendorong perputaran ekonomi. Di Gorontalo, misalnya, kehadiran UNG yang pesat menjadi magnet bagi orang luar daerah. Tak ada satu pun instansi yang mampu mendatangkan ribuan orang ke Gorontalo selain perguruan tinggi.
Afirmasi pembiayaan pendidikan oleh Pemda dapat menduplikasi skema Bansos PIP (KIPK) pemerintah pusat, dengan menyasar daerah ber-APM pendidikan tinggi rendah, seperti Kabupaten Boalemo, Pohuwato, dan Gorontalo Utara. Ketiga daerah ini rata-rata APM PT masing-masing baru mencapai 13,85 persen, 16,23 persen, dan 17,93 persen—jauh di bawah rata-rata nasional dan provinsi.
Data ini juga mengonfirmasi bahwa daerah dengan APM PT rendah memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Pengalokasian KIPK ala Pemda dari APBD tidak akan terlalu membebani fiskal. Rerata UKT penerima KIPK di UNG sebesar Rp2,4 juta. Maka selama delapan semester (empat tahun), total alokasi KIPK per mahasiswa hanya Rp19,2 juta. Jika sasarannya 100 mahasiswa, maka hanya dibutuhkan sekitar Rp1,9 miliar selama empat tahun, atau Rp480 juta per tahun. Anggaran ini relatif kecil dan tidak mengganggu kesinambungan fiskal daerah.
Jika setiap kabupaten/kota (enam wilayah) mengalokasikan beasiswa untuk 100 mahasiswa kurang mampu, maka akan lahir 600 sarjana setiap tahun—belum termasuk dari alokasi pemerintah provinsi. Pemberian beasiswa KIPK versi Pemda ini penting untuk mempercepat peningkatan mutu SDM dan memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan, serta untuk mewujudkan poverty zero pada 2045. Amartya Sen (Peraih Nobel Ekonomi 1998), dalam bukunya Inequality Reexamined (1992), menekankan pentingnya entitlement bagi kaum miskin agar bisa mengakses lembaga pendidikan guna memerangi kemiskinan. Semoga ini menjadi atensi pemerintah daerah!