Scroll untuk baca berita
Opini

Jelang 100 Hari Kerja: Pohuwato Darurat Lingkungan, Surat Cinta untuk Pemda

×

Jelang 100 Hari Kerja: Pohuwato Darurat Lingkungan, Surat Cinta untuk Pemda

Sebarkan artikel ini
Andi Muh. Maulana Asmar - Mahasiswa Universitas Pohuwato/Kader HMI Cabang Pohuwato. (Foto: Dok. Pribadi)
Andi Muh. Maulana Asmar - Mahasiswa Universitas Pohuwato/Kader HMI Cabang Pohuwato. (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh: Andi Muh. Maulana Asmar – Mahasiswa Universitas Pohuwato/Kader HMI Cabang Pohuwato

Opini – Di daerah ini, emas digondol tanpa jejak oleh tangan-tangan berbalut sutra, harum oleh kuasa. Rakyat menggigil menggenggam kerak, sementara penegak hukum bersulang di meja pesta. Hukum tak lebih dari bayang-bayang di siang hari—tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pasal-pasal bersujud di hadapan pemilik uang, dan hakim pun tersenyum di balik dompet yang tebal.

Scroll untuk baca berita

Di kursi-kursi kepentingan, mereka tertawa—menulis kebijakan dengan tinta dusta. Tak ada jeruji bagi yang berkuasa, sebab besi pun tunduk pada emas yang telah menjelma angka. Seribu miliar raib dalam semalam, dan hanya dibayar dengan rusaknya lingkungan. Sementara itu, masyarakat kecil memikul derita dari bencana buatan tangan manusia.

Siapa yang sesungguhnya diuntungkan—masyarakat, atau pelaku usaha? Apakah timbangan keadilan masih bernyawa, atau kini tinggal legenda yang dibisikkan di ruang-ruang sunyi? Di altar kekuasaan, nurani perlahan sirna—ditukar angka, dibeli suara.

Baca Juga:  Catatan Pinggir Peristiwa Banjir di Gorontalo ‘Perspektif Historis & Civil Teknis’

Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan persoalan struktural yang kompleks. PETI tumbuh subur karena ditopang oleh jejaring kuat: aparat penegak hukum (APH), penampung emas, pemasok BBM dan air raksa, pedagang peralatan tambang, bahkan hingga ke jajaran pemerintahan desa tempat tambang itu beroperasi.

Aktivitas PETI di Kabupaten Pohuwato kian merajalela, tumbuh seperti jamur di musim hujan—seolah kebal terhadap hukum. Dampaknya tidak lagi tersembunyi: wabah malaria, krisis air bersih, pembabatan hutan, hingga banjir yang terus berulang menjadi bukti nyata dari krisis lingkungan yang ditimbul.

Penertiban yang konon rutin dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) hingga kini belum menunjukkan hasil yang nyata. Kondisi ini memicu kecurigaan publik dan membuat masyarakat terus mempertanyakan independensi Pemda dan APH dalam menjalankan tugas serta kewenangannya.

Mengingat salah satu misi utama pemerintahan SIAAP saat kampanye adalah peningkatan kualitas lingkungan, komitmen tersebut seharusnya tidak berhenti sebagai janji politik semata. Sudah saatnya direalisasikan sebagai wujud nyata dari integritas pemerintahan yang berpihak pada rakyat dan keberlanjutan.

Baca Juga:  Thariq dan Nilai-Nilai Dasar Perjuangannya

Kondisi ini membuat masyarakat bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan? Jika jawabannya adalah “masyarakat”, maka masyarakat yang mana? Apakah mereka yang menggantungkan hidup pada PETI, atau justru mereka yang kini tak lagi bisa menikmati air bersih? Apakah sekitar 2.700 konsumen PDAM di wilayah Marisa yang baru-baru ini kehilangan akses air bersih, ataukah pelaku usaha yang berlindung di balik klaim membela masyarakat?

Bahkan beberapa waktu lalu, nama-nama yang jelas terlibat sebagai mafia di balik sejumlah titik pertambangan terungkap ke publik. Mulai dari pemasokan alat berat hingga dana atensi yang fantastis, semuanya menciptakan keresahan di kalangan masyarakat penambang kecil.

Bahkan, desas-desus beredar bahwa ketika APH menuju lokasi pertambangan untuk melakukan penertiban, mafia-mafia inilah yang memberi bocoran informasi dan memerintahkan untuk menghentikan aktivitas PETI. Tak mengherankan, laporan yang diterima menunjukkan bahwa setibanya di lokasi, alat berat sudah dalam keadaan tiarap. Ini jelas merupakan penghinaan terhadap institusi Polri.

Baca Juga:  Ketegangan di Asia Timur dan Urgensi Respon Diplomasi Indonesia Ditinjau dari Perspektif Komunikasi Politik dan Media Massa

Melihat kondisi ini, Pemda dan APH harus segera mengambil langkah tegas terhadap aktivitas PETI. Jika dibiarkan, masalah ini bisa menjadi bom waktu yang pada akhirnya merugikan pemerintah Kabupaten Pohuwato, seperti yang terjadi pada 21 September 2023 lalu, saat pembakaran kantor Bupati Pohuwato terjadi—dan hingga kini, belum ada realisasi pembangunan kembali.

Apalagi, dalam UU Minerba secara tegas disebutkan bahwa pertambangan rakyat yang menggunakan alat berat adalah tindak pidana. Dengan dasar hukum ini saja, sudah seharusnya Pemda dan APH berkolaborasi untuk mengambil langkah tegas dalam menindak pelaku PETI.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600