Scroll untuk baca berita
Wisata

Kesenian Genjring Bonyok, Warisan Budaya Sunda yang Terlupakan

×

Kesenian Genjring Bonyok, Warisan Budaya Sunda yang Terlupakan

Sebarkan artikel ini
Genjring Bonyok, kesenian rakyat khas Sunda yang tumbuh di Kampung Bonyok, Kabupaten Subang, Jawa Barat/sdnwonoplintahan1.sch.id/Hibata.id
Genjring Bonyok, kesenian rakyat khas Sunda yang tumbuh di Kampung Bonyok, Kabupaten Subang, Jawa Barat/sdnwonoplintahan1.sch.id/Hibata.id

Hibata.id – Genjring Bonyok, kesenian rakyat khas Sunda yang tumbuh di Kampung Bonyok, Kabupaten Subang, Jawa Barat, kini menghadapi ancaman kepunahan. Padahal, kesenian ini telah menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Subang sejak sebelum Indonesia merdeka.

Genjring Bonyok merupakan kesenian rakyat tradisional yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Scroll untuk baca berita

Dikenal sebagai bagian dari ekspresi budaya Sunda, Genjring Bonyok pertama kali berkembang di Kampung Bonyok, Desa Pangsor, pada masa kolonial saat wilayah ini menjadi daerah kontrak dalam lingkungan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P&T Lands).

Menurut catatan resmi Pemerintah Kabupaten Subang, kesenian ini lahir sebagai bentuk hiburan rakyat yang terinspirasi dari genjring rudat. Dengan menggunakan alat musik tradisional seperti beduk dan tiga buah genjring, pertunjukan Genjring Bonyok awalnya sederhana namun sarat makna budaya.

Baca Juga:  Destinasi Hits Gorontalo: Bukit Arang, Surga di Atas Awan

Seiring waktu, kesenian ini berkembang pesat. Seniman lokal seperti Talan dan Sutarja memainkan peran penting dalam memperkaya unsur pertunjukan, termasuk penambahan alat musik baru. Pada tahun 1967, Genjring Bonyok dimainkan oleh lima orang nayaga. Kemudian pada 1969, alat musik trompet turut melengkapi pementasan, memperkaya unsur musikal.

Transformasi terus berlanjut. Tahun 1982 menjadi tonggak penting dengan hadirnya alat musik tambahan seperti gendang, kulanter, gong besar dan kecil, kenong, serta kecrek. Lima tahun berselang, pada 1987, pementasan Genjring Bonyok semakin lengkap dengan kehadiran sinden yang menyanyikan lagu-lagu Ketuk Tilu.

Baca Juga:  Oluhuta Paradise, Destinasi Bahari Eksotis yang Kian Bersinar di Gorontalo

Pementasan Genjring Bonyok sempat meraih popularitas luas. Beberapa panggung prestisius pernah menampilkannya, antara lain Gedung Rumentang Siang Bandung (1971), Festival Genjring Bonyok se-Jawa Barat (1977), Gor Saparua Bandung (1978), hingga Gedung Gubernur Jawa Barat (1979). Kesenian ini juga tampil dalam perayaan HUT Kabupaten Subang pada tahun 1980.

Sayangnya, saat ini Genjring Bonyok mulai jarang dipentaskan. Generasi muda yang kurang tertarik terhadap seni tradisional serta minimnya dukungan kebijakan pelestarian membuat keberadaan kesenian ini kian terpinggirkan.

Baca Juga:  Masjid Terapung Nurul Bahri, Ikon Wisata Religi Baru di Pohuwato Gorontalo

“Kesenian Genjring Bonyok adalah warisan budaya tak benda yang harus dijaga. Ini bukan sekadar hiburan, tapi bagian dari identitas masyarakat Subang,” ujar seorang budayawan lokal yang aktif mempromosikan seni tradisi Sunda.

Kesenian tradisional seperti Genjring Bonyok tak hanya menggambarkan kreativitas masyarakat tempo dulu, tetapi juga menjadi simbol keberagaman budaya Nusantara.

Pemerintah daerah dan pegiat seni diharapkan dapat mengupayakan revitalisasi kesenian ini agar kembali dikenal luas, khususnya oleh generasi muda.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600