Penulis: Inkrianto Mahmud, S.E., M.M. – Ekonom Muda Gorontalo, Ketua IKA Jurusan Manajemen FEB UNG
Model penjajahan pasar di Gorontalo mulai terlihat. Gerai-gerai brand nasional mulai menguasai pasar terhadap brand lokal di Gorontalo. -+ 8 bulan Fore Coffee sudah beraktifitas bisnis di Kota Gorontalo.
Kopi yang Layak Dinikmati
Sisi lain, brand-brand nasional seperti Starbucks, Kopi Kenangan, dan Tomoro Coffee ke Kota Gorontalo dikabarkan juga akan berekspansi bisnis di Kota Gorontalo. Jika benar, ketiga brand nasional tersebut tidak sekadar fenomena bisnis biasa.
Ini adalah bentuk penjajahan pasar modern yang membungkus ekspansi modal dengan narasi gaya hidup, kemajuan, dan kenikmatan yang menjadi entitas hidup masyarakat.
Padahal, di baliknya terjadi penyingkiran perlahan terhadap pelaku UMKM lokal, khususnya warung kopi dan brand kopi khas Gorontalo yang dibangun dengan modal terbatas dan nilai potensi bisnis di Gorontalo.
Secara sadar, ketimpangan terjadi secara sistemik: brand besar membawa modal besar, jaringan distribusi nasional, kekuatan promosi digital, dan kemudahan izin yang tidak setara dengan usaha kecil lokal.
Akibatnya, mereka mendominasi ruang-ruang strategis di kota, mendikte selera konsumen muda, dan memonopoli persepsi “kopi yang layak dinikmati”.
Perlawanan ekonomi lokal bukan hanya soal bertahan secara bisnis, tapi juga soal melawan dominasi pasar yang timpang dan eksklusif. Ketika pemerintah daerah lebih memberi karpet merah pada brand nasional ketimbang memfasilitasi UMKM lokal, maka itu adalah bentuk pembiaran terhadap penjajahan ekonomi yang berkedok investasi di Kota Gorontalo.
Di dalam teori imperialisme ekonomi, Lenin menjelaskan bahwa kapitalisme tingkat lanjut memaksa modal mencari wilayah baru untuk ekpansi bisnis.
Brand nasional tersebut masuk di Gorontalo menjadi wajah baru imperialisme ekonomi yang mengejar akumulasi modal, dengan merambah kota-kota kecil seperti Gorontalo yang dulunya dianggap pinggiran pasar bagi bisnis-bisnis nasional semacam ini.
Melawan penjajahan pasar oleh brand nasional bukan berarti menolak modernitas, tapi soal menuntut keadilan pasar dan keberpihakan pada ekonomi lokal. Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya membuka karpet merah untuk modal besar, tetapi membangun fondasi kuat bagi UMKM agar tidak hanya bertahan, tetapi mampu melawan balik dalam pasar yang adil dan sehat.
Teori Ekonomi Lokal Berbasis Komunitas (Community-Based Economy) Ekonomi lokal semestinya didorong oleh penguatan UMKM berbasis nilai budaya, kearifan lokal, dan koneksi sosial secara menyeluruh dan berlaku adil. Masuknya brand nasional yang mematikan ini bertentangan dengan prinsip keberlanjutan ekonomi lokal di Gorontalo.
Secara nyata, brand nasional tentu membawa keunggulan diferensiasi produk, promosi besar-besaran dan loyalitas tinggi terhadap produk yang dijual. Sehingga, menciptakan monopoli semu di pasar yang seharusnya kompetitif.
Menurut Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Gorontalo (2024), sektor perdagangan di Kota Gorontalo menyumbang 17% PDRB, dengan pertumbuhan signifikan di subsektor makanan dan minuman.
Namun, UMKM kopi lokal hanya menyumbang kurang dari 3% pangsa pasar retail minuman siap saji. Sisi lain, survei Komunitas Pecinta Kopi Gorontalo (2023) mencatat bahwa 62% memilih brand nasional karena dianggap lebih prestisius, bukan karena rasa atau kualitas biji kopi yang dipernjualbelikan.
Realitas Ketimpangan dan Kesenjangan Dukungan Pemerintah Daerah
Ketimpangan ini bukan terjadi karena pelaku lokal “kurang kreatif”, tapi karena struktur ekonomi yang timpang sejak awal. Brand besar memanfaatkan semua celah regulasi, akses modal, teknologi, dan promosi yang tidak bisa dicapai oleh UMKM lokal, apalagi di daerah seperti Gorontalo ini.
Jika tidak ada intervensi pemerintah dan pengorganisasian kolektif ekonomi lokal, maka penjajahan pasar ini akan berlanjut dan membunuh kedaulatan ekonomi rakyat secara perlahan.
Brand nasional seperti selalu diberi karpet merah oleh pemerintah mulai mendapat kemudahan perizinan dari pemerintah kota/dinas karena dianggap “investor”, mendapat insentif dan kemudahan pajak dan tentu dilayani oleh regulasi nasional yang pro-korporasi.
Sisi lain, dibandingkan dengan UMKM lokal harus mengurus perizinan mandiri (NIB, PIRT, Halal, dll), kerap tidak mendapat fasilitas inkubasi, promosi, atau kemitraan dan pelatihan UMKM masih seremonial dan tidak berdampak besar bagi usaha lokal di Grontalo.
Konsep Political Economy of Development menurut Ha-Joon Chang menyoroti bagaimana negara berkembang seringkali ditekan untuk membuka pasar mereka kepada investasi asing dan korporasi besar dengan dalih modernisasi dan pembangunan. Namun, Chang menegaskan bahwa negara-negara maju justru pernah berkembang melalui proteksi ekonomi—melindungi industri lokal mereka sebelum menjadi kuat.
Dalam konteks Gorontalo, ketika pemerintah daerah dengan mudah mengizinkan masuknya brand besar seperti Starbucks, Kopi Kenangan, dan Tomoro Coffee, hal ini mencerminkan pengulangan pola kolonialisme ekonomi, di mana pasar lokal dibuka lebar sebelum pelaku usaha lokal benar-benar siap bersaing.
Masuknya korporasi nasional dan global ke Gorontalo menciptakan struktur pasar yang timpang, karena brand besar membawa modal, teknologi, dan promosi nasional yang tak bisa dilawan oleh UMKM lokal. Sesuai dengan kritik Chang, ketika pemerintah daerah membiarkan dominasi korporasi tanpa proteksi atau afirmasi terhadap pelaku ekonomi lokal, maka itu berarti “menendang tangga” yang seharusnya dipakai UMKM untuk naik kelas. Situasi ini bukan hanya melemahkan ekonomi lokal, tetapi juga memperdalam ketergantungan terhadap kekuatan modal luar, yang pada akhirnya menguras potensi jangka panjang pembangunan daerah.
Chang menyarankan bahwa pembangunan ekonomi harus dimulai dengan intervensi aktif negara untuk memperkuat sektor domestik, bukan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas. Dalam konteks Gorontalo, hal ini berarti pemerintah harus berani membuat kebijakan afirmatif: seperti kuota gerai kopi lokal di pusat kota, subsidi promosi digital UMKM, dan pelatihan branding berbasis kearifan lokal.
Tanpa keberpihakan semacam ini, maka dominasi brand besar akan terus mengkolonialisasi cita rasa dan ruang ekonomi rakyat, menjadikan pelaku lokal sekadar penonton di tanah sendiri dan mengabaikan penguatan internal ekonomi lokal.
Semoga pemerintah daerah di Gorontalo membaca, setelah itu merumuskan kebijakan lalu mempertimbangkan jika brand-brand nasional ini masuk di Gorontalo, atau bisa saja memberikan peluang terhadap brand nasional ini , tapi menggunakan brand lokal seperti kopi Pinogu menjadi sajian prioritas di gerai-gerai nasional ini.
Odu’olo.