Hibata.id – Desa Teratai, yang semestinya menjadi penyangga ekologis Kota Marisa, kini berubah wajah. Gugusan bukit dan kebun rakyat porak-poranda oleh aktivitas tambang emas ilegal. Bukan hanya menyayat lanskap di jantung Kabupaten Pohuwato, aktivitas liar ini menyisakan lubang-lubang menganga, tempat ideal bagi nyamuk malaria berkembang biak.
Bekas galian dipenuhi genangan air hitam pekat. Lumpur dan limbah tambang tersebar di sudut-sudut desa, menjadikannya ladang penyakit. Ancaman itu bukan sekadar kekhawatiran—ia sudah menjadi kenyataan.
Beberapa waktu lalu, Wakil Bupati Pohuwato, Iwan S Adam, menyebut 48 warga di Kecamatan Dengilo positif mengidap malaria. Ia menyampaikan data itu dalam rapat resmi di kantor kecamatan, sambil mengaitkannya langsung dengan maraknya aktivitas tambang tanpa izin di wilayah tersebut.
Ironi terbesar, tambang serupa kini marak di Desa Teratai—hanya selemparan batu dari pusat Kota Marisa. Lokasinya bahkan bersebelahan langsung dengan Rumah Sakit Bumi Panua. Di tengah upaya para tenaga medis menyembuhkan pasien, tambang-tambang ilegal justru membawa ancaman baru: wabah penyakit yang lahir dari kerakusan.
Kerusakan lingkungan tak terelakkan. Jalan-jalan desa berlumpur, kebun warga rusak, dan air tanah tercemar. Di sisi lain, ekskavator terus bekerja menggali tanah, seolah tak tersentuh hukum. Padahal pemerintah daerah sudah menetapkan larangan beraktivitas bagi seluruh tambang tanpa izin. Namun larangan itu seperti angin lalu—hanya berhenti di meja rapat.
Pantauan Hibata.id pada Minggu, 6 Juli 2025 kemarin, memperlihatkan betapa terang-terangannya operasi tambang ilegal berlangsung. Alat berat mengoyak bumi tanpa peduli risiko longsor, banjir lumpur, atau wabah yang mengintai. Semua demi emas yang tak diakui secara hukum, tapi tetap diburu di pasar gelap.
Pertanyaan mengemuka: siapa yang berada di belakang para cukong tambang ini? Mengapa aktivitas ilegal bisa bebas berlangsung begitu dekat dengan pusat pemerintahan? Di mana aparat pengawas dan penegak hukum?
Kekhawatiran terbesar: Desa Teratai akan bernasib seperti Dengilo—berubah menjadi episentrum malaria. Dan jika tak ada tindakan nyata, Pohuwato bisa masuk dalam daftar panjang daerah yang tenggelam dalam krisis ekologis dan bencana kesehatan akibat tambang ilegal.
Penutupan tambang tak cukup lewat keputusan administratif. Alat berat harus ditarik, kubangan ditimbun, dan pelaku ditindak. Jika tidak, penyakit bukan lagi ancaman, melainkan konsekuensi. Pohuwato berisiko menjadi contoh nyata bagaimana kerakusan segelintir orang merenggut masa depan sebuah kota.