Oleh: Moh. Irfandi Djumaati – Kader HMI Cabang Pohuwato
Hibata.id – Aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, kini menjelma menjadi ironi yang mencolok. Di Desa Teratai, Kecamatan Marisa, belasan hingga puluhan alat berat hilir mudik mengeruk kekayaan alam secara ilegal, merobek tubuh bumi demi keuntungan segelintir pihak—dan semua itu berlangsung nyaris di depan mata aparat penegak hukum.
Lebih dari sekadar dekat, lokasi PETI Teratai hanya berjarak sekitar tiga hingga empat kilometer dari Mapolres Pohuwato. Artinya, deru ekskavator, lalu-lalang truk pengangkut material tambang, dan kerumunan para penambang ilegal bukanlah hal yang tersembunyi. Ini adalah pertunjukan terang-terangan yang tampaknya telah menjadi pemandangan biasa—dan dibiarkan begitu saja.
Pemerintah Desa Teratai mengaku telah angkat tangan. Surat-surat permohonan penindakan sudah berkali-kali dikirim ke Pemerintah Kecamatan Marisa. Tapi jawaban yang datang hanya keheningan. Penegakan hukum, yang seharusnya menjadi benteng perlindungan bagi warga, tampak keropos dan tak berdaya.
Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pun nyata. Sedimentasi sungai meningkat, daerah resapan air hilang, dan risiko bencana ekologis mengintai. Desa Teratai kini tak ubahnya bom waktu yang menunggu detik ledaknya.
Mahasiswa, aktivis lingkungan, dan berbagai LSM sudah berulang kali bersuara. Mereka turun ke jalan, menyampaikan pernyataan sikap, hingga melayangkan pengaduan ke berbagai instansi. Namun, suara rakyat kalah bising dibanding gemuruh mesin tambang ilegal yang bekerja siang dan malam.
Yang lebih memprihatinkan, aktivitas PETI Teratai tampaknya telah menjadi “rahasia umum” yang tak tersentuh. Tak hanya Polres, bahkan Polda pun nyaris tak bergeming. Entah karena alasan keamanan, karena tekanan kepentingan, atau karena kenyamanan yang tak tercatat dalam dokumen hukum. Yang jelas, hukum kembali terbukti tumpul ke atas, namun tajam ke bawah.
Pak Kapolri, Mohon Buka Mata
Dalam situasi yang makin tak terkendali ini, publik menggantungkan harapan pada Kapolri, Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo. Pohuwato memanggil. Desa Teratai menjerit. Rakyat butuh bukti bahwa hukum masih berlaku dan bahwa Polri bukan sekadar penonton di tanah sendiri—melainkan penegak hukum yang berpihak pada keadilan dan keberlanjutan lingkungan.
PETI Teratai bukan sekadar kasus tambang liar. Ia adalah simbol nyata dari lemahnya penegakan hukum, dari ketimpangan akses terhadap keadilan, dan dari betapa mudahnya kekayaan alam dirampas atas nama kebutuhan sebagian kecil orang, sementara dampaknya harus ditanggung oleh banyak warga tak bersalah.
Ini bukan hanya soal tambang. Ini soal martabat penegakan hukum. Tentang kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka.
Pak Kapolri, jangan biarkan Pohuwato jadi panggung sandiwara hukum. Jangan biarkan tambang emas ilegal merusak wibawa Polri di mata rakyat. Kami menunggu tindakan nyata—bukan sekadar pernyataan, bukan dalih atau janji yang tak kunjung ditepati.
Teratai kini bukan sekadar nama sebuah desa. Ia adalah cermin. Cermin retak dari wajah hukum kita. Dan di balik cermin itu, ada rakyat yang menunggu keadilan benar-benar turun ke bumi.