Scroll untuk baca berita
Opini

Potret 18 Tahun FPMIK: Menyala dalam Kegelapan, Menggugat dalam Sunyi

×

Potret 18 Tahun FPMIK: Menyala dalam Kegelapan, Menggugat dalam Sunyi

Sebarkan artikel ini
Forum Pelajar Mahasiswa Indonesia Kotamobagu (FPMIK)/Hibata.id
Forum Pelajar Mahasiswa Indonesia Kotamobagu (FPMIK)/Hibata.id

Penulis: Randa Damaling – (Sekretaris Umum FPMIK Cabang Kota Gorontalo Periode 2021–2022)

Mahasiswa adalah lentera yang menyala di tengah gelapnya tantangan zaman, membawa harapan dan visi bagi kemajuan daerah. Di Kotamobagu, mereka bukan sekadar pelajar, melainkan agen intelektual yang menjembatani impian kolektif masyarakat dengan realitas yang penuh kontradiksi.

Scroll untuk baca berita

Melalui Forum Pelajar Mahasiswa Indonesia Kotamobagu (FPMIK), mereka merajut silaturahmi, menjaga identitas budaya Bolaang Mongondow, serta mendorong pencerahan melalui diskusi, aksi sosial, dan pelestarian nilai lokal. Namun, di balik peran heroik ini, mereka berjuang dalam sunyi, didera keterbatasan infrastruktur dan apati sistemik. Mahasiswa adalah investasi intelektual daerah, tetapi mengapa mereka dibiarkan menari di atas bara ketidakadilan?

Pada 1 Juli 2025, FPMIK memperingati usia ke-18, sebuah perjalanan panjang sejak kelahirannya pada 1 Juli 2007, berbarengan dengan pemekaran Kotamobagu. Selama hampir dua dekade, FPMIK telah menjadi mercusuar peradaban, menyalakan obor intelektualisme dan identitas budaya.

Baca Juga:  ASN Giveaway: Hadiah Undian atau Korban Ego?

Hingga saat ini, FPMIK masih mencerminkan semangat untuk merawat akar budaya sembari menatap masa depan. Seperti dikatakan beberapa ketua FPMIK sebelumnya, “FPMIK bukan hanya ruang silaturahmi, melainkan ruang peradaban.”

Usia dewasa ini menuntut FPMIK untuk tidak hanya merayakan, tetapi juga menggugat: sejauh mana perjuangan mahasiswa didukung oleh ekosistem yang memadai? Peringatan 18 tahun harus menjadi titik tolak untuk menuntut keadilan bagi mahasiswa, bukan hanya seremoni nostalgia.

Di Kota Gorontalo, ratusan mahasiswa asal Kotamobagu hidup dalam ketidakpastian yang memilukan. Tanpa asrama, mereka terpaksa menyewa kamar kos dengan biaya yang mencekik, menggerus tabungan keluarga, dan mengorbankan kesejahteraan mental mereka.

Asrama bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah ruang kolektif yang memupuk solidaritas, memperkuat identitas budaya, serta mendukung perkembangan intelektual. Ketiadaannya adalah pukulan telak bagi mahasiswa, terutama dari keluarga kurang mampu, yang harus memilih antara membayar sewa atau membeli buku.

Baca Juga:  Menatap Musyawarah Besar FPMIK ke-IV: Harapan Akan Keseriusan dan Penyelesaian yang Tuntas

Dampaknya bukan hanya finansial, tetapi juga akademik dan psikologis: fokus belajar terkikis, potensi organisasi seperti FPMIK terhambat, dan semangat berkontribusi bagi daerah meredup. Tragedi ini bukan sekadar kelalaian, melainkan cerminan kegagalan sistem dalam memprioritaskan kebutuhan generasi penerus.

Pemerintah Kota Kotamobagu, yang seharusnya menjadi pelindung mahasiswa, justru tampak absen dari tanggung jawabnya. Kotamobagu memiliki sejarah panjang dalam mendukung pendidikan, dari pendirian sekolah pada era kolonial hingga keberadaan sembilan perguruan tinggi lokal. Namun, bagi mahasiswa yang menempuh pendidikan di luar daerah seperti Gorontalo, dukungan nyaris tak terlihat. Tidak ada inisiatif nyata untuk membangun asrama atau menyediakan bantuan finansial yang memadai.

Padahal, asrama adalah investasi strategis; ia bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga pusat pengembangan intelektual dan budaya yang memperkuat identitas daerah. Sikap apatis pemerintah ini mencerminkan kurangnya visi jangka panjang dalam membangun sumber daya manusia. Anggaran daerah yang melimpah seharusnya dapat dialokasikan untuk asrama atau beasiswa, bukan hanya untuk proyek-proyek seremonial yang gemerlap namun kosong makna.

Baca Juga:  Tak ada yang Spesial di HUT Kabupatan Gorontalo yang ke-351 Tahun

Di usia 18 tahun, FPMIK berdiri sebagai simbol ketangguhan mahasiswa Kotamobagu. Namun, tanpa dukungan nyata dari pemerintah, potensi mereka bagaikan burung yang sayapnya terikat. Peringatan ini adalah seruan untuk menggugat: kapan pemerintah akan memprioritaskan mahasiswa sebagai tulang punggung pembangunan? Asrama, beasiswa, dan ruang pengembangan bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar untuk memastikan mahasiswa dapat berkontribusi maksimal bagi daerah.

Kotamobagu Jaya yang diimpikan tidak akan terwujud jika generasi mudanya dibiarkan berjuang dalam sunyi. Pemerintah harus bangkit dari kelalaiannya, mendengar jerit mahasiswa, dan bertindak nyata. Mahasiswa bukan hanya harapan, tetapi nyala api yang harus dijaga agar terus menyala, menerangi masa depan Kotamobagu yang beradab dan sejahtera.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600