Hibata.id — Setiap 6 Juni, bangsa Indonesia memperingati hari lahir Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia sekaligus Proklamator Kemerdekaan. Lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901, Bung Karno mendapat julukan “Putra Sang Fajar” yang sarat makna sejarah dan filosofi.
Julukan tersebut bukan sekadar sebutan, melainkan mencerminkan waktu kelahiran Soekarno yang terjadi saat fajar menyingsing. Menurut catatan dalam buku biografi “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams, Soekarno lahir pada pukul setengah enam pagi, tepat ketika sinar matahari pertama muncul di ufuk timur.
“Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901,” demikian petikan pernyataan Soekarno dalam biografi tersebut.
Julukan “Putra Sang Fajar” diberikan oleh ibunda Soekarno, Ida Ayu Nyoman Rai. Ia meyakini bahwa anak yang lahir saat matahari terbit telah ditakdirkan membawa perubahan besar. Kepercayaan ini berakar kuat dalam tradisi masyarakat Jawa.
“Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu,” ucap sang ibu seperti dikisahkan Bung Karno.
Soekarno merupakan anak dari pasangan Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Ia menyelesaikan pendidikan tinggi di Technische Hoogeschool te Bandoeng, kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB), dan meraih gelar insinyur pada 25 Mei 1926.
Tak hanya dikenal sebagai orator ulung, Bung Karno juga merupakan pemikir politik yang merumuskan ajaran Marhaenisme. Ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan utama memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
Namun, gerakan politik Soekarno memicu reaksi keras dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada 29 Desember 1929, Belanda menangkap Soekarno dan memenjarakannya di Sukamiskin, Bandung.
Selama delapan bulan penahanan, Soekarno merumuskan pidato pembelaan berjudul “Indonesia Menggugat”, yang menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia dan ketidakadilan kolonial.
Akibat pidato tersebut, PNI dibubarkan oleh pemerintah kolonial pada Juli 1930. Setelah bebas pada 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan menjadi pemimpinnya. Namun, Belanda kembali menangkapnya dan mengasingkannya ke Ende, Flores, pada 1933.
Julukan “Putra Sang Fajar” terus hidup dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia. Ia tidak hanya menandai waktu kelahiran Soekarno, tetapi juga simbol awal kebangkitan nasional menuju kemerdekaan.
Di era digital dan globalisasi saat ini, warisan pemikiran dan perjuangan Bung Karno tetap relevan dalam membangun jati diri bangsa dan memperkuat semangat kebangsaan, terutama di kalangan generasi muda.