Scroll untuk baca berita
Lingkungan

Siapa “Cukong” Dibalik PETI Balayo Pohuwato?

Avatar of Redaksi ✅
×

Siapa “Cukong” Dibalik PETI Balayo Pohuwato?

Sebarkan artikel ini
Alat yang digunakan di Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Pohuwato. (Foto: Istimewa)
Alat yang digunakan di Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Pohuwato. (Foto: Istimewa)

Hibata.id – Aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) menggunakan alat berat di Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Pohuwato, terus mendapat sorotan. Selain merusak lingkungan, praktik ini juga berdampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat.

Berbagai laporan menunjukkan, banyak penambang di Balayo bekerja tanpa izin resmi dan terlibat dalam praktik berbahaya, baik bagi kesehatan maupun ekosistem. Namun, siapa yang sebenarnya mengendalikan tambang emas ilegal ini?

Para penambang yang bekerja di lokasi tersebut mengungkapkan bahwa mereka tidak bekerja secara mandiri, melainkan berada di bawah kendali seseorang yang memiliki pengaruh besar—seorang yang sering disebut ‘cukong’.

Cukong dalam konteks ini merujuk pada orang atau kelompok yang menguasai operasi tambang ilegal, mengorganisir tenaga kerja, dan biasanya mendapatkan keuntungan besar dari eksploitasi tersebut.

Menurut beberapa sumber yang terhubung langsung dengan aktivitas tambang di Desa Balayo, cukong biasanya merupakan individu atau kelompok yang memiliki modal besar untuk mendanai operasional tambang.

Mereka menyediakan alat-alat berat, bahan kimia berbahaya, serta sumber daya lainnya yang dibutuhkan dalam proses penambangan emas. Para cukong juga dikatakan memiliki koneksi dengan pihak-pihak tertentu yang memungkinkan mereka untuk menghindari penindakan hukum.

“Kami tidak tahu siapa yang memimpin di atas sana, tapi kami tahu siapa yang memberi perintah dan mendanai semuanya. Mereka yang mengontrol, dan kami hanya bekerja,” kata salah satu penambang yang enggan disebutkan namanya.

Baca Juga:  Nasib Jalak Tunggir Merah, Burung Endemik Sulawesi yang kian Punah

Ia bilang, para pemodal ini rela menyewa alat berat berupa excavator dengan harga yang cukup besar, agar proses penggalian kulit bumi bisa lebih cepat, dan maksimal. Meskipun biaya sewa alat berat, hasilnya yang mereka dapat juga cukup besar.

“Alat berat itu biasanya di dewa dengan harga Rp. 350 ribu per jam. Para pemodal ini bisa menyewa alat dengan durasi 100 jam. Artinya, dalam 100 jam mereka rela mengeluarkan Rp 35 juta rupiah. Tetapi keuntungan yang mereka dapat juga sangat besar,” jelasnya.

Di balik keuntungan besar, para cukong tambang ilegal di Desa Balayo mengabaikan keselamatan penambang. Mereka membiarkan penggunaan bahan kimia berbahaya seperti sianida dan merkuri tanpa pengawasan yang memadai.

Situasi ini memperburuk kondisi masyarakat setempat, yang terpapar polusi air dan tanah akibat limbah tambang ilegal. Selain itu, aktivitas ilegal ini juga memicu penyebaran penyakit malaria, seiring banyaknya genangan air bekas tambang.

“Bekerja di sini sangat berisiko, Pak. Tapi kami tak punya pilihan. Meskipun pemodal yang lebih banyak untung, kami tetap harus bekerja,” ungkap seorang penambang.

Baca Juga:  Aktivitas PETI di Pohuwato Terus Menggila, Penegakan Hukum Lemah

Selain merusak ekosistem, tambang emas ilegal ini juga mengancam kehidupan masyarakat setempat. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber hidup kini tercemar logam berat dan bahan kimia berbahaya.

Tanaman yang tumbuh di sekitar area tambang juga rusak, dan beberapa warga mengeluhkan berkurangnya hasil pertanian mereka. Lebih dari itu, munculnya tambang emas ilegal ini menambah kerawanan sosial di desa tersebut. 

Pasalnya, penambang ilegal sering kali datang dari luar desa, menambah jumlah penduduk yang sulit terkontrol. Hal ini juga membuka peluang bagi adanya konflik antar kelompok dan bahkan memicu kegiatan kriminal lainnya.

Meski razia sering digelar, tambang ilegal di Desa Balayo tetap beroperasi. Warga mengungkapkan, penegakan hukum terhambat karena adanya permainan antara pihak berwenang dan cukong yang berpengaruh.

Sejumlah sumber mengungkapkan bahwa para cukong ini memiliki koneksi dengan oknum-oknum yang berada di posisi strategis, baik di tingkat desa maupun di tingkat pemerintah daerah, bahkan aparat penegak hukum (APH).

Sumber menjelaskan bahwa PETI di Balayo kurang lebih sama dengan PETI lainnya yang ada di Pohuwato. Para penambang dan para pemodal harus menyediakan uang keamanan setiap bulan agar aktivitas ilegal ini bebas dari penertiban.

Baca Juga:  Polda Gorontalo Didesak Bersikap Adil dalam Penindakan Tambang Ilegal

Meskipun ditertibkan, kata dia, informasi penertiban itu sudah disampaikan terlebih dahulu agar pemodal bisa bersiap-siap menghindari operasi tersebut dengan menyembunyikan alat-alat berat mereka. Praktik itu adalah cara yang selama ini dilakukan hingga sekarang.

Namun, kata dia, ketika para penambang dan pemodal tidak menyediakan uang keamanan setiap bulan, oknum-oknum dari APH ini seperti mengancam mereka dengan penindakan penertiban. Kondisi ini membuat penindakan terhadap tambang ilegal sulit dilakukan.

“Di Balayo, ada seorang koordinator yang mengatur setoran ini. Jadi, setiap bulan, dia yang akan mengumpulkan setoran atau uang keamanan dari para penambang dan pemodal,” ungkapnya.

Ia menambahkan, uang keamanan itu biasanya dihitung dalam satuan alat berat. Setiap satu unit alat berat, biasanya dikenakan Rp 30-35 juta per bulan. Jika ada 10 unit alat berat di PETI Balayo, berarti ada sekitar Rp 300-350 juta yang harus dibayar per bulan. 

“Saat ini, kabarnya uang keamanan naik dari Rp 30-35 juta menjadi Rp 50 juta per bulan per unit alat berat. Namun, ini belum pasti, karena saya bukan pemodal,” pungkasn

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel