Hibata.id – Hutan Balayo di Kecamatan Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kembali menjadi panggung kelam tambang emas ilegal. Di balik lebatnya vegetasi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati, deru mesin ekskavator menggema saban hari, menandai kerakusan yang perlahan menggerus ekosistem.
Ironisnya, di tengah laju penggundulan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) itu, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III Pohuwato justru memilih bungkam. Klarifikasi yang diminta Hibata.id pada Sabtu, 12 Juli 2025, tak membuahkan sepatah kata pun dari Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat KPH.
Sikap diam ini memantik kecurigaan publik. Dugaan permainan antara oknum aparat kehutanan dan cukong tambang makin menguat. Di saat flora-fauna terancam punah, KPH justru terkesan “pura-pura mati”.
“Ada dua alat berat ekskavator masih beroperasi. Itu masuk kawasan HPT,” kata seorang narasumber Hibata.id, Senin, 7 Juli 2025.
Keterangan itu berbanding terbalik dengan pernyataan resmi KPH sebelumnya. Jemie S. Peleng, pejabat KPH Wilayah III, mengakui hanya satu ekskavator yang ditemukan beroperasi. Dua lainnya, katanya, hanya “parkir manis” di tengah hutan.
Publik pun geleng kepala. Untuk apa ekskavator parkir rapi di tengah rimba kalau bukan untuk menambang? Apalagi, KPH berdalih tak bisa menyita karena operator kabur dan kunci tak sempat dicabut.
“Kalau kunci kami cabut, berarti kan ada di kita kuncinya itu. Tapi kan tidak ada,” kata Jemie, Rabu, 2 Juli 2025.
Pernyataan itu tak hanya mencederai logika publik, tapi juga menyingkap ketimpangan penegakan hukum di lapangan. Sumber lapangan menyebut petugas KPH sebenarnya sempat mencabut kunci beberapa alat berat, namun langkah itu mendadak terhenti. Ekskavator tetap tertambat di lokasi, menunggu waktu kembali membabat hutan.
“Mereka sempat cabut kunci. Tapi alatnya lebih dari satu. Ini terkesan cuma kamuflase,” ungkap seorang sumber, Rabu, 2 Juli 2025.
Saat diminta pertanggungjawaban, Jemie justru menyodorkan jawaban absurd. Menurutnya, ekskavator lainnya berada di luar kawasan HPT dan itu di luar kewenangan KPH. Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan: sejak kapan aparat negara bisa lepas tanggung jawab karena alasan administratif?
“Yang kami temukan hanya satu unit di dalam kawasan hutan. Di luar kawasan memang ada beberapa, tapi itu di luar kewenangan kami,” ujar Jemie, 17 Juni 2025.
Padahal, aturan tak pernah kabur. Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba menyebutkan: setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana lima tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar. Tapi di Hutan Balayo, hukum seperti mati suri.
Kawasan yang semestinya dilindungi kini jadi ladang uang. Derasnya aliran merkuri di sungai dan pohon-pohon rebah tak mampu membangunkan KPH dari tidur panjang. Tak ada penindakan tegas, tak ada penyegelan alat berat, bahkan laporan ke Gakkum pun sekadar jadi formalitas.