Hibata.id – TuK INDONESIA menilai bahwa pembaruan taksonomi hijau yang tengah disusun harus menghasilkan langkah-langkah progresif, bukan sekadar menjadi alat greenwashing belaka. Seruan ini disampaikan dalam ajang Ecofest 2024 yang digelar oleh Bloomberg Technoz di Hotel Four Seasons, Jakarta, pada 28 November 2024.
Dengan tema besar “Building the Future: Create a Sustainable Green Ecosystem”, acara ini menjadi ajang diskusi mengenai kebijakan serta kesiapan pemerintah dan pemangku kepentingan dalam mewujudkan ekosistem ekonomi hijau yang berkelanjutan. Namun, sejauh mana konsep keberlanjutan ini benar-benar diterapkan?
Dalam sesi diskusi panel bertajuk “How a Sustainable Finance Taxonomy Can Help Prevent Greenwashing”, Henry Rialdi, Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Jasa Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengakui bahwa Indonesia masih bergantung pada sektor batu bara.
“Bagi sistem keuangan, jika pembiayaan dihentikan secara total, hal itu dapat mengganggu stabilitas ekonomi,” ujarnya.
Henry juga mengungkapkan bahwa banyak bank yang masih mendukung sektor kelapa sawit, dan penghentian pembiayaan terhadapnya dapat menimbulkan dampak buruk pada portofolio mereka. Ia menambahkan bahwa taksonomi hijau yang berlaku saat ini tetap menggunakan tiga klasifikasi: green, transition, dan unqualified.
“Jadi, bukan berarti yang masuk kategori merah otomatis menjadi bagian dari kategori transition, melainkan unqualified,” terangnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Linda Rosalina, menekankan bahwa fokus utama bukanlah penghentian pembiayaan secara total, melainkan pembatasan yang terukur dan selektif. Menurut Linda, lembaga keuangan harus lebih berhati-hati dalam memberikan pembiayaan, dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan yang jelas.
“Taksonomi hijau perlu memiliki klasifikasi yang lebih tegas dan transparan. Sayangnya, kategori hijau saat ini masih mengacu pada sertifikasi keberlanjutan, padahal perusahaan yang bersertifikasi seringkali tetap menyebabkan kerusakan lingkungan, melanggar hak asasi manusia (HAM), bahkan ada yang beroperasi secara ilegal,” ungkap Linda.
Ia menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pun masih terlibat dalam praktik-praktik yang merusak lingkungan.
Sementara itu, Maria Trifanny Fransiska, Head of Sustainability Maybank Indonesia, mengungkapkan tantangan yang dihadapi dalam implementasi taksonomi hijau, khususnya terkait dengan validasi dan verifikasi klaim keberlanjutan yang dilakukan oleh debitur secara mandiri (self-declare). “Hal ini menyulitkan pihak bank untuk menentukan proyek mana yang layak dibiayai,” ujar Maria.
Ia menekankan pentingnya OJK untuk menyusun daftar perusahaan yang bermasalah, agar dapat menghindari investasi pada sektor-sektor yang merugikan. Sebagai langkah pencegahan greenwashing, TuK INDONESIA mendesak agar taksonomi hijau tidak hanya menjadi panduan, melainkan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
“Taksonomi hijau harus disertai dengan konsekuensi yang jelas jika dilanggar. Kami mendesak dibentuknya task force yang bekerja secara multipihak, melibatkan kementerian dan lembaga terkait,” tegas Linda.
Lebih lanjut, Linda juga menekankan pentingnya melibatkan masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan ini. “Penting untuk memiliki wadah yang memungkinkan masyarakat memberikan informasi dan berkomunikasi dengan pemangku kepentingan. Jika ada masalah, harus ada mekanisme komplain yang jelas dan mudah diakses,” katanya.
Dengan berbagai tuntutan tersebut, TuK INDONESIA berharap agar taksonomi hijau tidak hanya menjadi jargon belaka, melainkan sebuah langkah nyata yang dapat mendorong pembangunan ekonomi yang benar-benar berkelanjutan dan tidak merugikan lingkungan maupun masyarakat.