Hibata.id – Di Kabupaten Pohuwato, malaria tak lagi sekadar penyakit. Ia menjelma menjadi simbol kealpaan negara dan rakusnya manusia yang menggali tanah tanpa kendali. Sejak tambang emas ilegal menjamur di hampir setiap sudut wilayah, wabah malaria merebak bak kutukan yang menuntut balas.
“Ini bukan sekadar wabah. Ini kutukan akibat kerakusan,” kata Aswad Lihawa, aktivis dari Aliansi Pemuda Peduli Lingkungan. Ia menyebut genangan air bekas galian tambang sebagai ‘ladang maut’ tempat nyamuk malaria berkembang biak tanpa hambatan.
Data menunjukkan, dari tahun 2023 hingga awal 2025, tercatat 1.882 kasus malaria di Pohuwato. Kecamatan Marisa dan Buntulia menduduki posisi tertinggi dengan masing-masing 372 dan 370 kasus. Di bawahnya menyusul Taluditi, Duhiadaa, dan Dengilo. Tak satu pun kecamatan benar-benar steril dari wabah ini—semuanya telah terjamah oleh tambang dan malaria.
Aswad geram. Pemerintah, katanya, tampak hanya sibuk memadamkan api tanpa pernah mematikan sumber apinya. “Sudah puluhan miliar anggaran penanganan digelontorkan, tapi selama tambang ilegal dibiarkan hidup, itu seperti menuang air ke tong yang bocor,” ujarnya kepada Hibata.id, Rabu (30/4/2025).
Gambaran lapangan memperkuat tudingannya. Excavator bekerja tanpa jeda, menggali tanah yang tak sempat pulih. Lubang-lubang menganga ditinggalkan begitu saja, menciptakan danau-danau kecil yang menjadi inkubator nyamuk pembawa penyakit. “Kini hampir setiap kecamatan punya tambang liar. Ini sudah epidemi ekologis,” katanya.
Dalam pernyataan yang bernada peringatan moral, Aswad bahkan mengutip ayat suci. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia… agar mereka kembali,” ujarnya, mengutip QS. Ar-Rum: 41. Bagi Aswad, ini bukan semata krisis kesehatan, tapi juga tanda peringatan dari alam—dan dari Tuhan.
Ia mendesak pemerintah daerah agar tidak terus bersembunyi di balik retorika. “Jangan sampai pemerintah terlihat cupu dan tak berdaya di hadapan para perusak alam. Ini soal nyawa rakyat. Soal generasi masa depan. Kalau tidak sekarang, kapan?”
Pertanyaan itu menggelantung tanpa jawaban. Sementara malaria terus menjalar, dan tambang liar terus menggali jalan ke dalam perut bumi Pohuwato, tak ada kepastian bahwa negara akan benar-benar turun tangan. Alam sudah memberi sinyal, nyawa rakyat jadi taruhan. Kini giliran negara—apakah masih mau berpaling?