Hibata.id – Masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 menjadi angin segar bagi upaya perlindungan hak masyarakat adat di Indonesia.
Setelah lebih dari 14 tahun stagnan, dorongan untuk mengesahkan RUU ini menjadi momentum penting bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap keadilan bagi masyarakat adat.
Ketua Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo, yang mewakili Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menyampaikan harapan agar delapan fraksi di DPR RI segera membahas RUU ini pada 2025.
“Prolegnas ini adalah awal konkret untuk memenuhi janji kepada jutaan masyarakat adat yang selama ini berjuang di tengah ketidakpastian hukum,” ujar Kasmita, Senin (22/10).
Ketidakadilan Berlarut bagi Masyarakat Adat
Ketiadaan payung hukum selama bertahun-tahun membuat masyarakat adat rentan terhadap kriminalisasi dan pengambilalihan tanah ulayat. Banyak kasus mencatat masyarakat adat seperti O Hangana Manyawa dari Maluku Utara hingga komunitas di kawasan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menghadapi pengusiran paksa tanpa konsultasi yang adil.
“Kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus meningkat. Mereka ditangkap hanya karena mempertahankan tanah leluhur atau menjalankan hukum adat,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Ia menambahkan, konflik ini diperparah oleh proyek besar yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Ancaman Krisis Iklim dan Solusi Palsu
Dalam konteks krisis iklim global, ancaman terhadap masyarakat adat semakin kompleks. Proyek hijau seperti perdagangan karbon dan transisi energi sering kali menjadi alasan baru untuk merampas wilayah adat. “Solusi palsu ini menjadikan wilayah adat sebagai komoditas bisnis, bukan melindungi ekosistemnya,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
Regulasi yang Mengancam Hukum Adat
Selain itu, aturan nasional seperti penerapan “Hukum yang Hidup” dalam KUHP dianggap melemahkan institusi adat. “Ini berpotensi menghapus nilai-nilai adat yang telah bertahan selama ratusan tahun,” tegas Muhamad Isnur, Ketua Umum YLBHI.
Perempuan adat juga menjadi kelompok yang paling terdampak. Kehilangan tanah ulayat berarti hilangnya akses ekonomi sekaligus makin meningkatnya beban mereka dalam mendukung keluarga. “Perempuan adat kehilangan ruang untuk menjaga komunitas mereka di tengah janji-janji program pemerintah yang tak terealisasi,” ujar Veni Siregar, Senior Campaigner Kaoem Telapak.
Peluang Memperbaiki Ketidakadilan
RUU Masyarakat Adat menjadi harapan besar untuk memperbaiki ketimpangan yang dialami masyarakat adat selama puluhan tahun. Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menegaskan, “Pengesahan RUU ini bukan hanya tugas legislasi, melainkan komitmen moral untuk menghentikan ketidakadilan, konflik lahan, dan pelanggaran hak masyarakat adat.”
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat yang terdiri dari puluhan organisasi, termasuk YLBHI, WALHI, AMAN, dan Greenpeace Indonesia, mendesak DPR RI segera mengesahkan RUU ini pada 2025. “Ini adalah langkah mendesak untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia, keadilan iklim, dan keberlanjutan masyarakat adat,” kata Rukka.
DPR RI diharapkan mampu menjadikan pengesahan RUU ini sebagai bukti keberpihakan kepada masyarakat adat yang selama ini termarjinalkan. Momentum ini juga menjadi cara Indonesia menunjukkan komitmen terhadap hak asasi manusia di panggung internasional.