Hibata.id – Ada sesuatu yang menggelitik nalar, ketika sebuah foto beredar luas, memperlihatkan seorang polisi berpangkat dua bunga berdiri tepat di belakang tersangka MAR, Praja IPDN – ASN Gorontalo Utara (Gorut) yang tengah menghadapi perkara dugaan persetubuhan.
Bukan soal kejelasan wajah atau keutuhan gambar, tetapi soal kehadiran. Dalam konteks penyidikan, kehadiran dapat membentuk tafsir.
Pertanyaan publik pun mencuat, apakah itu bentuk dukungan? Sebuah kebetulan? Atau sekadar rutinitas pengamanan?. Dugaan intervensi otomatis mengudara, karena konteks kasus yang sedang menanjak tensinya.
Polda Gorontalo memilih langkah hati-hati, dan mungkin ini yang paling benar. Alih-alih ikut dalam riuh spekulasi, lembaga ini menegaskan bahwa foto tersebut sedang ditelusuri.
Kabid Humas Polda Gorontalo Kombes Pol Desmont Harjendro menyampaikan kalimat yang padat namun bernada peringatan.
“Kalau ada intervensi, pasti diproses. Tapi jangan berspekulasi dulu. Semua harus dibuktikan,” kata Kombes Pol Desmont.
Kalimat ini terdengar seperti upaya menegakkan garis batas antara hak publik untuk mengetahui dan kewajiban penegak hukum untuk menjaga independensi proses.
Polda juga mengajak masyarakat tidak buru-buru menghakimi berdasarkan potongan visual.
“Hindari menyebarkan isu liar. Tunggu hasil pemeriksaan resmi,” ujarya.
Di sini kita melihat dua lapis pesan: menenangkan situasi, sekaligus menjaga wibawa penegakan hukum agar tidak dikendalikan oleh framing di media sosial.
Namun publik jelas belum sepenuhnya puas. Bukan semata karena foto itu, tetapi karena rangkaian dinamika kasus.
Ada kabar perubahan keterangan saksi, ada isu pihak lain yang diduga ikut bermain, dan kini muncul figur polisi dua bunga di latar belakang tersangka.
Semua kepingan ini, bila berdiri sendiri, mungkin tidak signifikan. Tetapi ketika disatukan dalam benak masyarakat, narasinya berubah menjadi teka-teki besar yang menunggu jawaban.
Penyidik memang memastikan penanganan profesional, bahkan membuka peluang menetapkan tersangka baru dari dua terduga yang telah diidentifikasi.
Pernyataan ini penting untuk menunjukkan arah proses hukum. Tapi konsistensi adalah ujian sesungguhnya.
Karena dalam perkara seperti ini, bukan sekadar benar atau salah yang sedang ditimbang—melainkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Foto seorang polisi berdiri di belakang tersangka mungkin hanya satu momen kebetulan, atau mungkin awal dari cerita lain yang lebih panjang.
Publik berhak bertanya, dan aparat berhak menjawab dengan kerja, bukan reaksi emosional.
Polda Gorontalo kini berada di panggung utama. Bukan karena dramatisasi media sosial, tetapi karena tuntutan transparansi. Dan dalam perkara ini, setiap langkah harus lebih jernih daripada spekulasi yang beredar.
Bagaimanapun hasil penyelidikan nanti, satu hal penting akan tetap menjadi ukuran, apakah hukum benar-benar bekerja tanpa tedeng aling-aling.












