Hibata.id – Media Sosial masih dipenuhi ucapan perayaan saat Gorontalo merayakan HUT ke-25. Ruang paripurna megah menghiasi, musik mengalun dengan wajah-wajah bangga terpancar.
Namun di balik suasana itu, Ghalieb Lahidjun, Sekretaris Komisi IV DPRD Provinsi Gorontalo, membawa kabar yang jauh dari meriah.
Ketika banyak pihak bicara soal prestasi, terutama penghargaan Provinsi Layak Anak yang baru diterima Gorontalo, Ghalieb justru melihat ironi yang tak bisa diabaikan.
Ia hadir di acara peringatan itu, menyalami tamu-tamu undangan, namun pikirannya terpaut pada satu hal, angka kekerasan seksual terhadap anak yang terus melonjak.
“Provinsi Gorontalo memang baru saja mendapat penghargaan sebagai provinsi layak anak, tapi angka kekerasan seksual terhadap anak justru meningkat. Kurang lebih 300 kasus yang terlapor, dan yang tidak terlapor tentu jauh lebih banyak,” ujarnya, dengan nada yang lebih menggambarkan keprihatinan daripada selebrasi.
Ghalieb memaparkan bahwa angka resmi hanyalah permukaan. Di balik 300 laporan itu, ia yakin terdapat lebih banyak kisah yang tak pernah masuk meja pengaduan—entah karena takut, malu, atau tidak tahu harus mengadu ke mana. Dan di sinilah persoalan mulai terlihat jelas.
Menurut Ghalieb, penghargaan Provinsi Layak Anak tidak boleh berhenti menjadi sekadar piagam yang dipajang. Ia harus hidup dalam bentuk aksi nyata, terutama dalam perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak.
Lembaga Ada, tapi Tak Bisa Bergerak
Dalam dialog santai di sela rangkaian acara, Ghalieb menyinggung masalah yang jarang dibicarakan publik: Gorontalo belum punya UPTD khusus untuk menangani kasus perempuan dan anak. Padahal, dasar hukumnya — sebuah Peraturan Gubernur — sudah ditandatangani.
“Belum ada UPTD yang mengurus dan mengawal kasus-kasus ini, padahal Pergub-nya sudah ada. Kami di Komisi IV sudah mendorong, tetapi masih menunggu Surat Keputusan Gubernur untuk pembentukan UPTD tersebut,” katanya.
Ia menyebut, tanpa UPTD, penanganan kasus berjalan lambat dan tidak terkoordinasi secara optimal. Karena itu, selain menekan angka kekerasan, ia menilai penguatan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) juga harus menjadi fokus utama.
Di tengah gegap gempita perayaan, Ghalieb mengajak publik kembali mengingat cita-cita para pendiri provinsi: menghadirkan kesejahteraan rakyat, pelayanan publik yang maksimal, dan kemajuan daerah.
“Tentu cita-cita Gorontalo didirikan oleh para pejuang adalah untuk kesejahteraan rakyat, pelayanan maksimal, dan kemajuan daerah,” ujarnya.
Perayaan 25 tahun provinsi ini, menurutnya, bukan hanya soal pesta dan panggung, tetapi momen untuk berhenti sejenak dan melihat apa yang masih menjadi PR besar bersama.
“Perayaan ini harus menjadi pengingat, bahwa pekerjaan kita untuk melindungi generasi dan mensejahterakan rakyat masih panjang,” tutupnya.












