Berita

Asa Pengrajin Karawo di Gorontalo: Upah Kecil, Harga Jual Tinggi di Pasaran Kota

×

Asa Pengrajin Karawo di Gorontalo: Upah Kecil, Harga Jual Tinggi di Pasaran Kota

Sebarkan artikel ini
Pengrajin sulaman Karawo di Gorontalo tengah menghadapi dilema dengan upah murah/Hibata.id
Pengrajin sulaman Karawo di Gorontalo tengah menghadapi dilema dengan upah murah/Hibata.id

Hibata.id – Pengrajin sulaman Karawo di Gorontalo tengah menghadapi dilema. Meskipun hasil karya mereka bisa dijual seharga Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per potong di Kota Gorontalo, upah yang diterima pengrajin sangat minim.

Untuk sulaman Karawo sekelas seragam sekolah, mereka hanya dibayar Rp 35 ribu per kemeja. Sementara untuk kemeja kantoran atau seragam pesta, upah yang diterima hanya berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu per kemeja.

Baca Juga: Karnaval Karawo 2024 Gorontalo Berlangsung Meriah

Sartin Mahajani (45), salah satu pengrajin Karawo tradisional di Kabupaten Gorontalo, mengungkapkan bahwa semakin rumit pengerjaan motif, harga yang diterima juga naik. Namun tetap tidak sebanding dengan harga jual di kota.

Baca Juga:  Pahami Perbedaan 5 Jenis Warna Surat Suara Pemilu 2024

“Paling tinggi kami dibayar Rp 250 ribu, padahal di Kota Gorontalo, kain hasil karya kami itu bisa dijual jutaan rupiah,” kata Sartin.

Sebagian besar pesanan datang dari Kota Gorontalo, di mana para pelanggan hanya perlu membawa bahan dan motif yang diinginkan. Pekerjaan ini sering diselesaikan di sela-sela kesibukan rumah tangga.

Baca Juga: Transformasi Sulaman Karawo Khas Gorontalo Menjadi Outfit Modern

“Kalau ada waktu, kami kerjakan. Biasanya setelah pekerjaan rumah selesai,” ujarnya.

Meski bayaran rendah, Sartin dan pengrajin lainnya tidak punya pilihan lain. Jika tidak menerima pesanan, dalam seminggu mereka tidak mendapatkan pemasukan sama sekali.

Menurutnya, proses pengerjaan sulaman Karawo biasanya memakan waktu antara satu hingga dua minggu. Tergantung pada kerumitan motif dipesan.

Baca Juga:  Nilai Tukar Rupiah Hari ini Rentan Melemah

Berbeda dengan Sartin, Yanti Dopa (47) bercerita bahwa menyulam Karawo telah menjadi bagian dari kehidupannya sejak kecil.

Yanti Dopa (47) salah satu pengrajin Karawo di Gorontalo/Hibata.id
Yanti Dopa (47) salah satu pengrajin Karawo di Gorontalo/Hibata.id

“Sejak sekolah, kami sudah diajarkan menyulam oleh orang tua. Makanya kami sudah terbiasa, meskipun upahnya kecil,” kata Yanti.

Menurutnya, menyulam Karawo menjadi pekerjaan utama untuk membantu ekonomi keluarga. Terutama ketika penghasilan suami yang bekerja di kebun tidak menentu.

Para pengrajin di Desa Puncak, Kecamatan Pulubala, berharap pemerintah bisa memberikan perhatian lebih pada mereka. Musabab, Banyak ibu rumah tangga di desa mereka bisa menyulam.

“Tapi karena bayaran yang rendah, mereka berhenti kecuali ada pesanan yang banyak,” tutur Yanti.

“harapanya ada peningkatan harga sulaman Karawo agar warisan budaya ini tidak punah,” ia menandaskan.

Baca Juga:  Kampanye di Kota Gorontalo Bakal Dijaga Ketat 206 Personel

Tentang Karawo

Karawo adalah kain tradisional khas Gorontalo yang dihasilkan melalui proses sulaman tangan.

Kain ini dikenal dengan motif yang rumit dan pengerjaan yang memerlukan ketelitian tinggi.

Seni menyulam Karawo, yang disebut “Mokarawo”, telah diwariskan dari generasi ke generasi sejak masa Kerajaan Gorontalo.

Meski sempat redup, pemerintah kini berupaya melestarikan kerajinan ini melalui berbagai cara, termasuk Festival Karawo yang pertama kali diadakan pada 2011.

Festival ini diadakan setiap tahun untuk memperkenalkan kain Karawo kepada masyarakat dan meningkatkan perekonomian lokal melalui pengembangan budaya daerah.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600