Hibata.id – Raungan mesin ekskavator di Bulangita seolah menjadi lagu wajib yang menghantui warga siang dan malam. Desa kecil di Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kini tak lagi tenang. Sejak tambang emas ilegal menjamur hanya beberapa kilometer dari pusat Kota Marisa, suasana berubah jadi seperti medan industri tanpa kendali. Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, aktivitas ini telah menjadi simbol dari pembiaran yang terorganisir.
Pada Rabu, 23 April 2025, Hibata.id berupaya mengonfirmasi langsung ke Kapolres Pohuwato, AKBP Busroni. Namun, pesan yang dikirim melalui WhatsApp hanya dibaca—tanpa balasan, tanpa penjelasan. Hening yang justru semakin memekakkan telinga.
Sikap diam ini bukan sekadar bentuk ketidaktanggapan. Ia memunculkan tanda tanya besar di tengah masyarakat: ke mana peran aparat dalam menghadapi aktivitas tambang ilegal yang begitu terang-terangan? Jika hukum berdiri tegak, mengapa ekskavator bisa bekerja leluasa di lahan yang tak berizin?
Padahal, warga Bulangita, yang rumahnya hanya sepelemparan batu dari lokasi tambang, telah berulang kali bersuara. Tapi suara mereka terpantul kembali, tanpa gema. “Kami sudah sering mengeluh. Tapi yang datang hanya suara mesin. Jalan desa rusak, air sungai keruh. Kami takut nanti tanah longsor atau banjir besar,” ujar seorang warga, yang meminta namanya tak dipublikasikan karena alasan keamanan.
Yang lebih mengganggu, tidak ada pengawasan resmi, tak tampak garis batas hukum. Ekskavator masuk dan keluar dengan leluasa, seakan tambang ini telah menjadi bagian sah dari lanskap desa.
Aktivitas pertambangan emas ilegal di Bulangita bukan sekadar soal pencarian emas. Ini adalah pertarungan antara hukum dan kekuasaan bayangan. Ketika alat berat bisa bekerja tanpa izin, ketika warga harus menanggung kerusakan lingkungan, dan ketika aparat memilih diam, publik berhak curiga: siapa yang bermain di balik layar?
Hukum yang tak bergerak akan segera kehilangan wibawanya. Dan jika penegak hukum bungkam, masyarakat akan bertanya—bukan hanya siapa yang bersalah, tapi siapa yang seharusnya melindungi?. Namun, untuk saat ini, pertanyaan itu masih menggantung di udara, seperti debu tambang yang mengaburkan pandangan atas kebenaran yang sesungguhnya.