Ditulis oleh : Wardoyo Dingkol – Akademisi
Sore menjelang Magrib, saya mendapat sebuah pesan dari grup WhatsApp yang isinya sebuah pesan dari teman saya, Arif. Dengan hanya kalimat singkat, “Fantasi Sedarah, Huft Dunia.” Sontak pesan tersebut membuat saya bingung, apa maksudnya itu? pesan itu disusul dengan gambar yang di capture dari postingan seseorang di grup media sosial Facebook, Tanpa banyak berpikir, saya mendapati diri saya membuka sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah.
Ternyata grup tersebut sudah dihapus oleh pihak Facebook, namun kontennya banyak terdokumentasikan dan berseliweran di berbagai media sosial. Nama grupnya saja sudah cukup membuat saya terkejut, apalagi ketika saya mulai membaca konten yang ada di dalamnya.
Grup ini berisi unggahan-unggahan eksplisit tentang fantasi seksual Incest, yang semakin lama semakin terang-terangan dan vulgar. Yang lebih mengejutkan, sebagian besar komentar di sana tidak hanya mengkonfirmasi bahwa ini adalah tempat yang aman untuk berbagi fantasi semacam itu, tetapi juga memberi kesan bahwa hal ini sudah menjadi sesuatu yang biasa normal.
Seiring dengan saya yang semakin merenung, timbul pertanyaan besar: apakah media sosial telah menciptakan ruang bagi hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu untuk berkembang tanpa batas? Kenapa justru hal-hal semacam ini bisa diterima, atau setidaknya tidak ditentang? tentu hal semacam ini tidak terjadi secara kebetulan, ada fenomena sosial yang terstruktur sejak lama kemudian membentuk perilaku seperti itu.
Saya teringat apa yang pernah dikatakan oleh Herbert Blumer tentang teori Uses and Gratifications. Dalam teorinya, ia menempatkan media sosial bukan hanya berfungsi sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai ruang di mana orang mencari pemenuhan kebutuhan psikologis mereka baik itu hiburan, pelarian, maupun validasi diri.
Media sosial menjadi tempat bagi individu untuk mengekspresikan dirinya, termasuk bagian-bagian diri mereka yang mungkin tidak diterima di masyarakat umum. Dalam konteks ini, fantasi seksual yang menyimpang seperti yang ada di Grup Fantasi Sedarah sepertinya dapat dengan mudah disalurkan bahkan tidak hanya Facebook saja, tetapi bisa melalui platform-platform digital yang ada.
Namun, ada yang lebih mengganggu dalam fenomena ini, yaitu normalisasi. Mengapa orang yang mengkritik atau menentang konten semacam ini sering kali dianggap berlebihan atau ‘moralistik’? Di sinilah teori spiral of silence dari Elisabeth Noelle-Neumann mulai relevan. Ketika mayoritas diam, suara-suara yang menentang, yang menganggap perilaku semacam itu menyimpang, akan semakin terpinggirkan.
Media sosial, dengan algoritmanya yang mengutamakan engagement, justru memperkuat suara yang menyetujui atau bahkan menyebarkan hal tersebut. Konten yang kontroversial, meskipun mengandung penyimpangan, lebih sering dilihat, dibagikan, dan akhirnya semakin diterima sebagai bagian dari “keberagaman” dalam ruang digital. Tanpa kita sadari, media sosial telah menjadi ruang di mana norma-norma sosial yang biasanya mengatur perilaku kita mulai terkikis.
Untuk lebih memahami masalah ini, saya mulai membaca beberapa studi akademik yang membahas pengaruh media sosial terhadap perilaku seksual. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Communication pada 2021, disebutkan bahwa paparan berulang terhadap konten seksual ekstrim di media sosial dapat mengubah cara pandang kita terhadap norma-norma sosial. Pengguna media sosial yang terpapar konten semacam ini secara tidak langsung menjadi desensitisasi, atau kehilangan rasa sensitif terhadap penyimpangan seksual.
Dampak lainnya adalah normalisasi dari hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu, seperti incest. Data dari Center for Digital Society (CfDS) UGM menunjukkan bahwa lebih dari 30% pengguna media sosial di Indonesia yang berusia antara 16–25 tahun pernah secara tidak sengaja terpapar konten seksual menyimpang. Angka ini cukup mengejutkan, apalagi mengingat banyak di antaranya tidak mencari konten semacam itu, tetapi justru menjadi korban dari sistem algoritma yang mengutamakan popularitas daripada nilai-nilai etika.
Salah satu alasan mengapa fenomena ini bisa terjadi adalah karena media sosial, pada dasarnya, telah mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia pribadi kita sendiri. Dalam kajian Mediatization of Intimacy, para ahli menyebutkan bahwa pengalaman yang tadinya bersifat privat, seperti seksualitas, kini telah dibuka untuk konsumsi publik. Seksualitas yang seharusnya menjadi pengalaman yang sangat personal, kini bisa dengan mudah dijadikan bahan untuk dilihat, dibahas, dan bahkan dikomersialisasikan. Di sini, kita bisa melihat bagaimana perubahan dalam cara kita berinteraksi dengan ruang pribadi dan publik telah mendorong normalisasi dari perilaku menyimpang.
Namun, meskipun grup Fantasi Sedarah sudah dihapus, saya merasa ini bukanlah akhir dari masalah. Fenomena ini lebih dari sekadar satu grup yang dibubarkan. Saya menemukan grup-grup serupa muncul di berbagai platform lain, atau bahkan bersembunyi di balik nama yang lebih ambigu untuk menghindari pengawasan. Ini menunjukkan bahwa masalah yang kita hadapi bukan hanya seputar satu grup atau platform, tetapi merupakan cerminan dari ekosistem digital yang memungkinkan penyimpangan seksual menjadi semakin mudah diakses dan semakin diterima.
Di titik ini, saya mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sebagai masyarakat masih peduli pada batas? Apakah kita benar-benar ingin menjaga norma-norma sosial yang telah terbentuk selama berabad-abad? Atau, apakah kita lebih memilih untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang muncul di dunia maya adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang tak terbatas? Jika kita terus membiarkan fenomena semacam ini berkembang, apakah kita siap menghadapi konsekuensinya?
Fenomena seperti ini harus menjadi bahan refleksi bagi kita semua, terutama buat teman -teman media sosial saya. Ini bukan hanya soal siapa yang menyimpang atau tidak, tetapi lebih kepada bagaimana kita membiarkan penyimpangan itu berkembang tanpa batas. Media sosial telah menciptakan ruang yang semakin luas bagi hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan untuk berkembang, dan kita yang terjebak dalam ruang ini harus menyadari bahwa kita juga ikut bertanggung jawab atas apa yang kita konsumsi dan sebarkan.
Pada akhirnya, jika kita terus membiarkan ruang publik digital berkembang tanpa kendali, bukan hanya hasrat yang akan menjadi liar, tetapi juga nalar kita sebagai masyarakat. Inilah tantangan kita bersama, bagaimana menghadapi dunia maya yang semakin liar tanpa kehilangan nalar kita sebagai individu dan masyarakat.