Scroll untuk baca berita
Opini

Ketika Membangun Masjid Dianggap Kejahatan: Catatan dari Suwawa

×

Ketika Membangun Masjid Dianggap Kejahatan: Catatan dari Suwawa

Sebarkan artikel ini
Kolase foto Mantan Bupati Bone Bolango, Hamim Pou, saat menjalani persidangan kasus dugaan penyalahgunaan dana bansos, dengan latar Masjid Almarhamah Suwawa—masjid yang menjadi salah satu objek bantuan dan kini turut disebut dalam dakwaan/Hibata
Kolase foto Mantan Bupati Bone Bolango, Hamim Pou, saat menjalani persidangan kasus dugaan penyalahgunaan dana bansos, dengan latar Masjid Almarhamah Suwawa—masjid yang menjadi salah satu objek bantuan dan kini turut disebut dalam dakwaan/Hibata.id

Oleh: Jamal Usman – Pengamat Persidangan, Alumnus Fakultas Hukum

Sore itu, suara azan dari Masjid Almarhamah di Kecamatan Suwawa menggema seperti biasa. Seorang ibu berjalan perlahan menuju masjid dengan sajadah di tangan.

Scroll untuk baca berita

Anak-anak berlarian di pelataran, dan dari kejauhan saya melihat seorang lansia menenteng tongkat menuju tempat wudu. Tak banyak yang berubah. Masjid itu tetap menjadi denyut nadi spiritual warga sekitar.

Namun siapa sangka, masjid yang setiap hari memanggil umatnya untuk sujud, kini ikut disebut dalam surat dakwaan. Bangunan yang dibangun untuk ibadah justru menjadi barang bukti dalam perkara hukum.

Saya Jamal Usman. Seorang alumnus Fakultas Hukum, lahir dan tinggal di Suwawa, Kabupaten Bone Bolango. Rumah saya hanya sepelemparan batu dari Masjid Almarhamah.

Masjid ini bukan hanya tempat salat. Ia saksi bisu geliat masyarakat—dari pengajian ibu-ibu, salat Jumat, hingga kegiatan sosial keagamaan. Kini, nama masjid itu disebut dalam kasus bantuan sosial yang menyeret mantan Bupati Bone Bolango, Hamim Pou.

Saya tidak sedang membela siapa pun. Tulisan ini lahir dari keprihatinan yang dalam—keprihatinan atas arah keadilan yang terasa melenceng dari nurani hukum itu sendiri.

Baca Juga:  Pilkada 2024 dan Data Kemiskinan, Akan Jadi ‘Perdebatan Panas’ Calon Pemimpin Gorontalo?

Sebagai pengamat, saya hadir dalam beberapa sidang kasus bansos ini. Di ruang sidang yang dingin dan formal itu, saya menyimak dengan kepala dingin dan hati terbuka. Satu per satu saksi dipanggil, satu per satu fakta diurai.

Kepala DPPKAD mengatakan tidak ada perintah langsung dari bupati. Semua proses administratif berjalan sesuai jalur. Bendahara dinas pun mengaku tidak pernah menerima arahan pribadi. Bahkan, seluruh pencairan tercatat dalam APBD dan dokumen resmi pemerintah daerah.

Tidak ada bukti aliran dana ke rekening pribadi. Tidak ada kerugian negara yang nyata. Bantuan itu diberikan kepada rumah ibadah yang kini bisa disaksikan wujudnya—berdiri megah dan digunakan setiap hari oleh masyarakat.

Pertanyaannya: di mana letak kejahatannya?

Sebagai orang hukum, saya paham betul: prosedur penting, transparansi itu mutlak. Tapi hukum juga mengenal niat, konteks, dan rasa keadilan. Dalam ruang itu, hukum tak boleh hanya tajam pada teks, tapi juga peka pada nilai. Kita belajar bahwa hukum yang hidup bukan sekadar undang-undang, tapi juga keadilan yang terasa di hati masyarakat.

Baca Juga:  Bayang-bayang Inflasi dan Data Kemiskinan di Gorontalo

Jika menyalurkan bantuan ke rumah ibadah lewat prosedur resmi bisa dianggap korupsi, maka kita sedang berjalan ke arah yang membingungkan. Hari ini seorang bupati diadili karena menyalurkan bantuan ke masjid. Besok bisa jadi siapa pun kepala daerah akan ragu menyentuh ruang-ruang keagamaan, meskipun masyarakat sangat membutuhkannya.

Apakah kita sedang menyusun preseden bahwa kebaikan yang dilakukan lewat jalur resmi bisa berubah menjadi delik hukum?

Saya tahu, hukum tidak bisa dibangun di atas simpati semata. Tapi hukum juga tak bisa ditegakkan tanpa memahami makna sosial dari sebuah tindakan. Masjid Almarhamah bukan simbol kekuasaan—ia simbol kebutuhan spiritual masyarakat. Dan ketika bantuan datang untuk memenuhi kebutuhan itu, dengan dokumen sah dan tanpa niat memperkaya diri, apakah itu layak disebut kejahatan?

Sebagai warga yang mencintai hukum, saya justru takut pada sunyi yang ditinggalkan keadilan. Sebab bila hukum kehilangan rohnya, maka yang tersisa hanya prosedur tanpa makna. Kita akan melihat pengadilan yang kering hati, putusan yang melukai nurani, dan rasa takut tumbuh di hati para pemimpin yang ingin berbuat baik.

Baca Juga:  Meneropong Gorontalo Pasca Pilkada 2024

Saya tidak berkata bahwa semua bantuan harus dibebaskan dari evaluasi. Tapi saya percaya, hukum yang adil harus bisa membedakan antara niat jahat dan kehendak baik.

Dari seluruh fakta persidangan yang saya dengar langsung, saya meyakini satu hal: bantuan untuk rumah ibadah ini bukanlah sebuah kejahatan. Ia adalah bentuk keberpihakan sosial yang kini malah diseret ke ruang kriminal.

Dan jika hari ini seorang pemimpin diadili karena membantu membangun masjid, maka sesungguhnya yang sedang diadili bukan hanya dirinya—tapi kita semua. Kita diuji: apakah masih bisa membedakan antara korupsi dan kebaikan?

Tulisan ini adalah refleksi atas dugaan kasus bantuan dana sosial (Bansos) di Bone Bolango, yang dalam proses persidangannya dinilai tidak menimbulkan kerugian negara.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600