Scroll untuk baca berita
Lingkungan

Penyebab Bencana Sumatera yang Harus Jadi Pelajaran untuk Gorontalo

Avatar of Hibata.id✅
×

Penyebab Bencana Sumatera yang Harus Jadi Pelajaran untuk Gorontalo

Sebarkan artikel ini
Kondisi pascabanjir wilayah di Desa Hotagodang , Batangtoru, Tapanuli Selatan. Minggu (30/11). Foto: BNPB/Hibata.id
Kondisi pascabanjir wilayah di Desa Hotagodang , Batangtoru, Tapanuli Selatan. Minggu (30/11). Foto: BNPB/Hibata.id

Hibata.id – Bencana hidrometeorologi berupa banjir bandang dan longsor yang melanda Pulau Sumatera, khususnya di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menjadi peringatan serius atas rapuhnya tata kelola lingkungan dan lemahnya penegakan hukum sumber daya alam di Indonesia.

Peristiwa yang menewaskan ratusan orang serta merusak ribuan rumah itu tidak dapat dipandang semata sebagai dampak cuaca ekstrem.

Di balik intensitas hujan tinggi, terdapat persoalan struktural berupa kerusakan hutan di wilayah hulu sungai yang terus dibiarkan.

Deforestasi dan pembukaan lahan untuk industri kehutanan maupun aktivitas komersial lain telah mengubah fungsi ekologis tanah.

Baca Juga:  Konflik Tambang Pohuwato Memanas, Mantan Ketua PMII Soroti Perampasan Hak Warga

Daya serap air menurun drastis, sehingga saat hujan deras turun, air mengalir sebagai limpasan permukaan dalam volume besar dan memicu banjir serta longsor berskala luas.

Pasca-bencana di Sumatera Utara, pemerintah menyampaikan telah melakukan penyegelan terhadap sejumlah entitas usaha yang diduga melanggar aturan lingkungan.

Namun di lapangan, sejumlah aktivitas perusahaan dilaporkan masih berjalan seperti biasa. Kondisi ini memunculkan tanda tanya besar mengenai keseriusan penegakan hukum dan komitmen negara dalam menghentikan praktik perusakan lingkungan.

Penegakan hukum yang hanya bersifat administratif tanpa sanksi tegas dinilai tidak cukup menimbulkan efek jera. Padahal, penindakan yang konsisten dan transparan dapat menekan potensi bencana serupa sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan negara.

Baca Juga:  Aktivis Minta Bahlil Lahadalia Datang Ke Pohuwato untuk Lihat Kerusakan Lingkungan Akibat PETI

Kasus di Sumatera juga menyoroti minimnya transparansi sejumlah operator perkebunan dan kehutanan terkait wilayah konsesi, termasuk tumpang tindih dengan kawasan lindung dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Masih beroperasinya konsesi pascabencana menunjukkan lemahnya pengawasan di tingkat lapangan.

Situasi tersebut patut menjadi peringatan bagi daerah lain, termasuk Gorontalo, yang memiliki karakter geografis rentan bencana akibat kerusakan hutan di wilayah hulu dan perbukitan. Audit perizinan harus dilakukan secara berkala, dan izin bermasalah perlu dicabut tanpa kompromi.

Baca Juga:  Meski Memicu Banjir, PETI Bulangita yang Gunakan Alat Berat Masih Terus Beroperasi

Selain itu, peran masyarakat sipil dan organisasi lingkungan perlu diperkuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya alam. Investasi pada konservasi, reboisasi, dan tata guna lahan berkelanjutan dinilai jauh lebih efektif dan murah dibandingkan penanganan pascabencana.

Bencana di Sumatera bukan sekadar ujian menghadapi cuaca ekstrem, melainkan cermin kegagalan tata kelola lingkungan dan lemahnya penegakan hukum.

Daerah-daerah lain perlu belajar, tidak hanya dengan memperkuat sistem peringatan dini, tetapi dengan menghentikan kerusakan lingkungan yang menjadi akar persoalan bencana.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel