Hibata.id – Pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga juga menghancurkan fasilitas publik dan melecehkan otoritas pemerintah lokal.
Meskipun di tengah gembar-gembor penghentian sementara, kenyataannya alat berat masih bebas beroperasi—menggerus tanah, menelanjangi hutan, dan mencemari ruang hidup warga yang semestinya dilindungi.
Dalam penelusuran Hibata.id pada Senin (09/07/2025), sejumlah ekskavator masih bekerja aktif di area belakang kompleks pusat pemerintahan Kecamatan Dengilo. Tanah terus diaduk tanpa ampun, bahkan di dekat permukiman warga.
Padahal, Pemerintrah Daerah melalui Camat Dengilo telah membuat surat resmi untuk menghentikan sementara aktivitas ilegal itu. Hal itu merupakan keputusan yang diambil karena melihat dampak yang ditimbulkan.
Para pelaku tambang bahkan diwajibkan menimbun kembali bekas galian, memperbaiki kerusakan fasilitas umum, merehabilitasi lingkungan, menormalisasi aliran sungai, dan memperbaiki saluran irigasi yang rusak.
Namun, kebijakan itu hanyalah dokumen formalitas yang tak pernah benar-benar dijalankan. “Seperti tidak ada penertiban sama sekali. Alat berat masih bekerja di dekat rumah-rumah warga,” kata salah satu warga Dengilo yang meminta identitasnya dirahasiakan karena alasan keamanan.
Ironisnya, selain menghancurkan ekosistem, PETI Dengilo kini juga merusak fasilitas negara. Jalan akses menuju sekolah rusak parah dan terancam longsor. Lebih celaka lagi, aktivitas itu telah memicu lonjakan kasus malaria.
Kebijakan penghentian sementara ini justru terkesan seperti panggung sandiwara: dipublikasikan sebagai bentuk kepedulian, namun di balik layar dibiarkan tumbuh liar demi keuntungan segelintir pihak.
Sementara masyarakat Dengilo menanggung dampaknya—air bersih tercemar, jalan rusak, anak-anak terancam tidak bisa bersekolah dengan aman, dan risiko penyakit menular terus meningkat dari tahun ke tahun.
“Yang paling menyakitkan, cukong-cukong tambang justru semakin kaya, menari di atas tanah yang ditinggalkan bolong-bolong dan hancur. Masyarakat hanya kebagian racun, debu, dan lubang maut yang terus menganga,” pungkasnya.