Hibata.id – Potret buram penegakan hukum di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kembali menjadi sorotan. Aktivis muda asal Popayato, Syahril Razak, melontarkan kritik tajam terhadap kinerja Kapolres Pohuwato, yang dinilainya lemah dan tak bernyali dalam menindak aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang semakin tak terkendali.
“Apakah perlu kami patungan bayar polisi supaya PETI di Teratai, Botubilotahu, dan Bulangita bisa dihentikan? Kami bukan anti tambang, tapi coba lihat! Aktivitas itu terjadi persis di depan mata Kapolres Pohuwato. Apakah beliau masih punya mata?” tegas Syahril.
Pernyataan keras itu tak datang tanpa alasan. Di Desa Teratai dan Bulangita, Kecamatan Marisa — hanya beberapa kilometer dari kantor Polres, Kantor Bupati, dan Gedung DPRD Pohuwato — aktivitas tambang emas ilegal terus berlangsung terang-terangan. Meski ilegal secara hukum, faktanya para pelaku PETI leluasa menjalankan operasi seolah kebal hukum.
“Kalau begini caranya, siapa yang bertanggung jawab jika nanti banjir bandang datang? Siapa yang akan ganti sawah-sawah yang rusak? Apakah Kapolres, Bupati, dan DPRD mau turun gotong royong membersihkan lumpur di rumah warga?” tanya Syahril lantang.
Di lapangan, dampak PETI sangat nyata: bukit digerus, tanah terbuka lebar, vegetasi hancur, sedimentasi meningkat di aliran sungai, dan risiko longsor serta banjir menjadi ancaman serius bagi warga hilir. Semua ini terjadi dekat pusat kekuasaan, tapi nyaris tanpa pengawasan.
Ironisnya, penegakan hukum justru mandek. Aparat seolah membiarkan excavator dan mesin sedot emas terus bekerja, padahal jaraknya hanya selemparan batu dari kantor polisi. Pemerintah daerah pun tak terlihat melakukan upaya serius, dan DPRD lebih sibuk mengeluarkan pernyataan normatif ketimbang bertindak nyata.
Menurut informasi yang dihimpun, pemerintah desa telah berulang kali menyampaikan surat, laporan, hingga permohonan penertiban ke tingkat kecamatan dan kabupaten. Namun responsnya nihil — seolah laporan tersebut membentur tembok tebal birokrasi dan kepentingan.
Hingga berita ini diturunkan, suara ekskavator dan mesin penyedot masih terdengar dari lokasi PETI Teratai dan Bulangita. Ton demi ton material tambang terus dikuras. Namun hukum, yang semestinya menjadi alat keadilan, justru tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Syahril mendesak Kapolres Pohuwato dan seluruh jajaran aparat penegak hukum untuk segera menghentikan “pertunjukan diam” mereka dan bertindak tegas. Baginya, hukum tidak boleh tunduk kepada ketakutan ataupun kepentingan segelintir elite.
“Jangan nodai seragammu hanya karena segelintir orang yang diuntungkan dari PETI. Kalau tak sanggup, silakan angkat kaki dari Pohuwato. Masyarakat butuh aparat penegak hukum, bukan penonton tambang ilegal!” pungkas Syahril.