Scroll untuk baca berita
Lingkungan

Tambang Batu Gamping Ancam Hidup Warga Matamaling Banggai Kepulauan

×

Tambang Batu Gamping Ancam Hidup Warga Matamaling Banggai Kepulauan

Sebarkan artikel ini
Ekosistem karst Banggai Kepulauan. Foto: Jatam Sulteng
Ekosistem karst Banggai Kepulauan. Foto: Jatam Sulteng

Hibata.id – Rencana penambangan batuan gamping di Desa Lelang Matamaling, Kecamatan Buko Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, memicu kekhawatiran besar warga. Aktivitas industri ekstraktif ini dinilai mengancam keberlangsungan sumber kehidupan, mulai dari air bersih hingga pertanian dan perikanan yang menjadi tulang punggung ekonomi warga setempat.

Kabupaten Banggai Kepulauan, yang terdiri dari 342 pulau—termasuk lima pulau berukuran sedang—merupakan wilayah dengan ekosistem karst yang dominan. Dari total luas daratannya, sekitar 95 persen adalah kawasan karst yang menopang 124 mata air, satu sungai bawah tanah, 17 gua, dan 103 sungai permukaan. Sistem karst ini menjadi penopang utama sistem hidrologi sekaligus penyangga keanekaragaman hayati.

Scroll untuk baca berita

Namun, menurut Moh. Taufik, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah (Sulteng), keberadaan ekosistem vital itu kini berada di bawah ancaman serius. Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah per Juni 2025 mencatat, sebanyak 45 perusahaan telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) batuan gamping di wilayah Banggai Kepulauan.

Sebanyak 43 di antaranya dalam status Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Pencadangan, dengan total luasan mencapai 4.398 hektare. Satu perusahaan berstatus eksplorasi seluas 88 hektare, dan satu lagi sudah masuk tahap operasi produksi dengan luasan 113,7 hektare. Totalnya, katanya, lebih dari 4.599 hektare lahan terancam dibongkar.

Baca Juga:  Kades Bulangita Bungkam Soal Rumah Warganya Terendam Banjir Akibat PETI, Masuk Angin?

“Empat dari perusahaan tersebut—PT Defia Anugrah Sejahtera, PT Gamping Bumi Asia, PT Gamping Sejahtera Mandiri, dan PT Prima Tambang Semesta—telah mendapat WIUP di Desa Lelang Matamaling dengan total luasan 696 hektare,” kata Moh. Taufik dalam rilis resminya.

Ironisnya, lokasi yang dipilih perusahaan ini bukan sembarang tempat. Ia berada di wilayah konservasi yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri Nomor 53/KEPMEN-KP/2022. Dalam regulasi itu, Desa Lelang Matamaling termasuk dalam zona inti konservasi laut, zona perikanan budidaya, dan zona wisata bahari.

Bukan hanya bertentangan dengan kepmen tersebut, rencana penambangan juga dikhawatirkan merusak kawasan ekowisata Gua Jepang, yang status perlindungannya diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan.

“Dalam Pasal 10 ayat (2) huruf m, disebutkan secara jelas bahwa morfologi karst adalah kawasan resapan dan pencadangan air yang harus dilindungi,” jelasnya.

Baca Juga:  Menteri Bahlil Tinjau Langsung Aktivitas di Pulau Gag

Ancaman dari proyek tambang tak hanya merusak lanskap, tapi juga menghantam langsung jantung ekonomi warga. Sekitar 400 kepala keluarga di Desa Matamaling bergantung pada sektor pertanian dan perikanan tangkap. Sebanyak 70 persen di antaranya merupakan nelayan, sementara sisanya petani yang juga kerap melaut untuk menambah penghasilan.

Pertanian menjadi sumber penghidupan turun-temurun. Warga menanam ubi, kelapa, cengkeh, dan sayuran di lahan-lahan yang kini masuk dalam peta WIUP perusahaan. Ubi Banggai bisa menghasilkan hingga 20 blek sekali panen, harganya Rp100 ribu per blek. “Hasil itulah yang menyekolahkan anak-anak kami sampai kuliah,” kata seorang warga.

Sementara di laut, aktivitas nelayan seperti Nardi menghasilkan penghasilan signifikan. Sekali melaut, ia bisa menangkap ikan hingga tiga keranjang besar—terisi ikan lalosi, bobara, dan jenis lain. “Kalau hasil bagus, bisa dapat sampai Rp3 juta sekali melaut. Dalam sebulan bisa sepuluh kali melaut,” ujarnya. Uang hasil laut itu cukup untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Salah satu yang paling dikhawatirkan warga adalah ancaman terhadap sumber air bersih. Dalam peta WIUP perusahaan tambang, tercakup pula mata air Laanding—sumber utama air bersih warga. Air dari Laanding mengalir langsung dari sistem karst bawah tanah dan tetap jernih bahkan di musim hujan. Bila kawasan ini diganggu, bukan tidak mungkin mata air akan mengering.

Baca Juga:  Embun Upas Minus 2 Derajat Celsius Selimuti Dieng, BMKG Imbau Waspada

“Kalau tambang masuk, kami kehilangan semua: air, sawah, laut,” kata seorang tokoh masyarakat.

Aktivitas tambang juga dikhawatirkan memicu bencana ekologis seperti banjir dan longsor, karena kawasan karst rentan rusak jika digali, terlebih dengan metode peledakan. Sistem hidrologi karst yang rumit tidak bisa pulih dengan mudah setelah rusak.

Atas dasar itu, warga mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk mencabut seluruh WIUP yang telah diterbitkan di Desa Lelang Matamaling. Selain dianggap bertentangan dengan KEPMEN Nomor 53/KEPMEN-KP/2022, keberadaan tambang juga mengancam kawasan ekowisata gua, zona inti konservasi, serta sumber daya vital masyarakat.

“Ini bukan sekadar soal tambang. Ini soal hidup dan mati warga,” tegas warga Matamaling.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600