Hibata.id – Tragedi kembali menyelimuti aktivitas pertambangan emas ilegal (PETI) di kawasan Cagar Alam Panua di Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato. Seorang warga dilaporkan meninggal dunia di lokasi tambang yang beroperasi secara brutal di tengah wilayah yang seharusnya dilindungi.
Namun di balik kabar duka itu, pernyataan dari pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah Marisa III justru membuka dimensi baru dari tragedi ini.
Menurut Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat Wilayah III Pohuwato, Jemie S. Peleng, korban bernama Heri Inaku—warga Desa Tabulo Selatan, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo—tidak meninggal karena tertimbun longsor sebagaimana informasi yang beredar di masyarakat.
Ia menyebut Heri meninggal akibat serangan stroke setelah mengonsumsi makanan berat dan kopi. Ia bilang, korban sebelumnya makan daging dan minum kopi sebelum naik ke atas. Setelah itu, ia mengalami serangan kolesterol tinggi dan meninggal di lokasi karena stroke.
Mengenai aktivitas tambang emas ilegal di kawasan konservasi tersebut, Jemie menegaskan bahwa pihaknya telah berulang kali memperingatkan para penambang agar menghentikan kegiatan mereka.
“Kami sudah berkali-kali menginformasikan agar mereka tidak melakukan aktivitas di atas. Tapi mereka terus kembali ke sana,” ujar Jemie, Rabu (11/6/2025).
Namun, ia juga mengungkapkan keterbatasan wewenang yang dimiliki oleh KPH dalam hal penindakan. Ia menjelaskan pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menindak di wilayah cagar alam Panua.
“Yang berwenang itu BKSDA. Tugas kami hanya sebatas memberi informasi kepada pihak-pihak yang beraktivitas di sana,” jelasnya.
Sayangnya, pernyataan itu tidak mampu menutupi kenyataan yang lebih besar—bahwa aktivitas tambang ilegal terus berlangsung tanpa pengawasan serius, di wilayah yang seharusnya steril dari perusakan. Ini bukan sekadar tragedi individu, melainkan potret kelam dari pembiaran sistemik yang terjadi di kawasan konservasi.
Tragedi memilukan ini terjadi pada malam Selasa, 10 Juni 2025, di Kawasan Cagar Alam Panua di Desa Popaya, Kecamatan Dengilo. Tempat yang seharusnya tenang dan terlindungi, kini menjadi ladang eksploitasi yang dipenuhi alat berat, suara mesin ekskavator, dan taruhan nyawa manusia.
Warga menyebut sempat terjadi longsor di lokasi. Heri ditemukan tak bernyawa di area yang rusak akibat penggalian ekstrem. Namun setelah jenazah dipulangkan, penyebab kematian menjadi simpang siur. Kepala Desa Tabulo Selatan, Suryanata Yusuf, membenarkan bahwa pihak keluarga menduga Heri meninggal karena stroke.
Meski penyebab kematian masih diperdebatkan, satu fakta tak terbantahkan: Heri Inaku tewas di kawasan tambang emas ilegal, di tengah hutan yang seharusnya dijaga, bukan dirusak. Ia adalah korban dari sistem yang gagal melindungi warga kecil yang menggantungkan hidup dari sektor paling berbahaya ini.
Wilayah Cagar Alam Panua memang telah lama menjadi sasaran empuk bagi penambang emas liar. Di balik janji kekayaan, tersembunyi kerakusan yang merusak ekosistem, melabrak hukum, dan merenggut nyawa. Ekskavator bekerja setiap hari tanpa izin, tanpa kontrol. Bukit dibongkar, tanah dikupas, hutan dihancurkan.
Ironisnya, ini adalah kawasan konservasi yang secara hukum harusnya bebas dari eksploitasi. Namun, hukum di sini sekadar formalitas. Pemerintah seperti tak hadir. Aparat baru muncul ketika korban sudah jatuh. Kapolres Pohuwato AKBP Busroni memiliki bungkam ketika hibata.id menghubunginya pada Rabu (11/6/2025).
Kematian Heri Inaku bukan sekadar soal stroke atau longsor. Ini tentang ketidakadilan yang sistemik. Tentang aparat yang absen. Tentang negara yang gagal melindungi rakyat paling miskin dan paling rentan.
Terlalu banyak nyawa melayang di lubang-lubang tambang ilegal. Terlalu lama masyarakat dibiarkan bertaruh nyawa untuk sesuap harapan. Jika hari ini tak ada langkah nyata, kematian Heri hanyalah pembuka dari daftar korban berikutnya.
Heri Inaku bisa jadi sekadar angka lain dalam statistik kematian tambang ilegal. Tapi jika ada keberanian untuk bertindak, ia bisa menjadi titik balik—peringatan keras bahwa nyawa rakyat tidak boleh terus dipertaruhkan demi emas.