Hibata.id – Aktivis asal Kabupaten Pohuwato, Aswad Lihawa, melontarkan kritik tajam terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo, terkait kunjungan mereka ke perusahaan tambang di wilayah Pohuwato pada Rabu, (30/4/2025) kemarin. Kritik ini muncul karena Aswad menilai kunjungan tersebut lebih mengutamakan kepentingan investasi tambang tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang akan dirasakan oleh masyarakat setempat.
Menurut Aswad, kedatangan DPRD Provinsi Gorontalo di Pohuwato terlihat hanya berfokus pada investasi yang dijanjikan oleh perusahaan tambang. Namun, yang sangat disayangkan adalah kurangnya perhatian terhadap masyarakat di sekitar wilayah tersebut, khususnya di Desa Hulawa, yang akan menerima dampak langsung dari aktivitas pertambangan.
“Di desa tersebut, terdapat informasi bahwa tiga dusun akan direlokasi. Ini seharusnya menjadi perhatian utama,” ujar Aswad pada Jumat (2/5/2025).
Pernyataan ini menggambarkan kekhawatiran mendalam dari masyarakat sipil terkait sikap para wakil rakyat. Relokasi tiga dusun di Desa Hulawa seharusnya menjadi isu yang mendapatkan pengawasan serius dari DPRD. Namun, menurut Aswad, hingga kini belum ada sikap tegas atau langkah konkret dari pihak DPRD Provinsi Gorontalo terkait hal tersebut.
Bahkan, Aswad menyebutkan bahwa informasi tentang relokasi warga telah sampai ke pihak DPRD Gorontalo. Namun, hingga kini tidak ada tindak lanjut yang jelas. “Jangan sampai mereka menyampaikan kepada masyarakat bahwa informasi relokasi itu tidak benar, padahal faktanya terbukti memang ada rencana tersebut,” tegasnya.
Pernyataan ini merupakan peringatan keras untuk DPRD agar tidak menyebarkan informasi yang menyesatkan kepada masyarakat, terutama jika fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Diamnya DPRD dalam hal ini bisa dipandang sebagai pembiaran terhadap potensi pelanggaran hak-hak masyarakat.
Sementara itu, di ruang rapat dan meja bisnis para pengambil kebijakan sibuk membahas nilai investasi dan keuntungan tambang, warga Desa Hulawa hanya bisa menanti kepastian tentang nasib rumah dan tanah mereka. Yang paling menyakitkan, mereka menunggu dari wakil rakyat yang seharusnya membela kepentingan mereka, namun justru sibuk dengan urusan lain yang jauh dari kebutuhan dan perjuangan rakyat.
“Ketika tiga dusun terancam digusur, pertanyaannya sederhana: siapa yang akan berdiri di pihak rakyat? Jawaban dari pertanyaan ini hanya mereka yang tahu. Kita hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana endingnya nanti,” pungkas Aswad.