Hibata.id – Di sebuah desa yang tenang di Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara, berdiri sebuah makam yang tak biasa.
Berbeda dari makam lainnya yang statis, warga percaya makam ini terus bertambah tinggi seiring waktu.
Mereka menyebutnya sebagai makam keramat anak raja — jejak peninggalan spiritual yang hingga kini masih dijaga dengan penuh hormat.
Makam itu milik sosok yang diyakini sebagai anak Raja Blongkod, penguasa wilayah Atinggola pada masa lampau.
Tidak banyak yang tahu pasti silsilahnya, namun kisah dan keyakinan yang berkembang turun-temurun telah mengakar kuat di hati masyarakat.
Hartono Pulumoduyo, seorang bate atau pemangku adat di Atinggola, menjadi salah satu saksi hidup perubahan makam tersebut. Ia masih ingat betul bagaimana bentuk makam itu saat ia kecil.
“Dulu hanya tumpukan batu besar, tak terlalu tinggi. Tapi sekarang, sudah naik ke atas bukit, seperti hidup dan terus tumbuh,” ujarnya sambil menunjuk ke arah makam yang kini telah diberi atap dan pagar sederhana.
Menurut warga, makam tersebut mulai direnovasi secara swadaya agar lebih layak dikunjungi.
Meski begitu, keanehan makam yang disebut-sebut “hidup” itu tetap tak berubah. Makam itu terus bertambah tinggi sedikit demi sedikit, bahkan ada yang mengaku melihat pergeseran posisinya.
Pada tahun 2002, sebuah tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) datang ke lokasi untuk melakukan penelitian. Mereka menduga ada semacam “batu hidup” di dalam tanah yang membuat makam itu terus meninggi.
Namun, rencana pembongkaran situs itu batal. Warga menolak. Mereka menganggap tindakan itu dapat mencemari kesakralan tempat tersebut. Melalui perundingan panjang, akhirnya disepakati bahwa penelitian dihentikan.
“Yang paling mengejutkan, ekskavator yang dibawa ke lokasi tiba-tiba mati total. Mesinnya tidak bisa dinyalakan kembali. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang berani mengusik makam itu,” kisah Hartono.
Makam anak raja itu kini bukan hanya sekadar situs pemakaman. Ia telah menjadi simbol warisan budaya dan spiritual yang hidup di tengah masyarakat Atinggola. Warga rutin mengunjungi makam tersebut setiap perayaan hari besar Islam, seperti Maulid dan Idul Fitri.
“Ini bukan hanya tentang kepercayaan, tapi juga tentang jati diri kami sebagai masyarakat Gorontalo yang memuliakan sejarah dan leluhur,” ujar Hartono.
Pemerintah daerah pun mulai melirik potensi makam ini sebagai bagian dari pengembangan wisata religi dan budaya. Namun hingga kini, belum ada penetapan resmi sebagai situs cagar budaya.
Meski begitu, warga tetap menjaga dan merawatnya tanpa pamrih. Bagi mereka, makam anak raja bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga bagian dari masa depan yang tak boleh dilupakan.