Hibata.id – Koalisi Transisi Energi Berkeadilan, yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil, mendesak pemerintah untuk tidak menurunkan target bauran energi terbarukan dalam draf revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Dalam audiensi dengan Fraksi Demokrat di Komisi VII DPR RI, Selasa (3/9), mereka menekankan pentingnya meningkatkan target energi terbarukan hingga 60% pada 2030, serta menghentikan pengembangan energi fosil baru.
Baca Juga: BMKG Teliti Sesar Aktif di Gorontalo untuk Minimalkan Risiko Megathrust
Audiensi ini dihadiri oleh Ketua Fraksi Demokrat Komisi VII, Sartono Hutomo, beserta anggota Hendrik Halomoan Sitompul dan Zulfikar Hamonangan.
Koalisi mengusulkan agar Fraksi Demokrat ikut memperjuangkan peningkatan target bauran energi terbarukan, tanpa memasukkan energi berbasis biomassa yang merusak hutan dan nuklir yang dianggap berisiko bagi Indonesia. Menurut mereka, transisi energi harus adil dan berkelanjutan.
Kritik Terhadap Biomassa dan Nuklir
Anggi Prayoga, Juru Kampanye dari Forest Watch Indonesia (FWI), menyoroti penggunaan biomassa dari kayu (wood pellet) yang berasal dari Hutan Tanaman Energi (HTE).
Ia menyebut bahwa praktik ini telah menggunduli hutan di Aceh, Jambi, Kalimantan, dan Gorontalo. Proyeksi FWI menunjukkan bahwa hutan alam seluas 4,65 juta hektare terancam oleh proyek HTE dan implementasi co-firing biomassa di PLTU.
“Jika praktik ini terus dilanjutkan, Indonesia akan menambah utang emisi akibat kerusakan hutan,” tegas Anggi.
Sementara itu, Bella Nathania, Plt. Direktur Program ICEL, menyoroti risiko yang ditimbulkan oleh pengembangan energi nuklir di Indonesia. Ia menilai bahwa Indonesia belum siap secara infrastruktur untuk mengelola limbah nuklir, apalagi dengan kondisi geografis yang rawan gempa.
“Jika PLTN dibangun di Pulau Bangka, dampaknya akan terasa hingga Sumatera Utara,” ujarnya.
Dorongan Penghapusan Energi Fosil Terselubung
Indra Sari Wardhani, Plt. Direktur Program Koaksi Indonesia, menambahkan bahwa Fraksi Demokrat menerima masukan koalisi dalam bentuk daftar inventarisasi masalah (DIM).
Ia berharap Fraksi Demokrat dapat memperjuangkan penghapusan energi fosil yang terselubung dalam istilah “energi baru,” seperti batu bara tercairkan dan gas metana batu bara.
Selain itu, revisi KEN juga diharapkan tidak mendorong penggunaan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), yang dinilai justru memperpanjang ketergantungan pada energi fosil.
Menurut laporan “Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia” oleh Trend Asia dan CREA, sekitar 33% dari 58 gigawatt kapasitas pembangkit listrik yang terpasang di Indonesia pada 2021 melebihi kebutuhan.
Hal ini menambah beban operasional hingga Rp16 triliun. Di sisi lain, riset CREA menunjukkan bahwa polusi dari 10 PLTU di Banten menimbulkan biaya ekonomi sebesar Rp71,3 triliun per tahun.
Transisi Energi dan Potensi Lapangan Kerja
Koalisi juga meminta agar pemerintah daerah dilibatkan dalam pelaksanaan transisi energi, karena pemda berperan penting dalam menyusun Rencana Umum Energi Daerah.
Mahawira Singh Dillon dari TransisiEnergiBerkeadilan.id menekankan bahwa transisi ke energi terbarukan akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, sehingga bonus demografi Indonesia bisa dioptimalkan.
“Opsi energi terbarukan terbukti menghasilkan lebih banyak lapangan kerja dibandingkan energi fosil, seperti terlihat dalam laporan tahunan US Energy Employment Report. Energi terbarukan menciptakan tiga kali lipat jumlah pekerjaan dibandingkan energi fosil dengan investasi yang sama,” kata Wira.
Dalam audiensi ini, Fraksi Demokrat menyambut baik masukan dari koalisi dan berkomitmen untuk menindaklanjuti hal tersebut dalam pembahasan bersama pemerintah. Mereka juga berencana mempertanyakan penurunan target energi terbarukan dalam draf RPP KEN.