Scroll untuk baca berita
Kabar

Perusahaan Tambang di Pohuwato: Menjanjikan Kesejahteraan, Tapi Merampas Hak Hidup Rakyat

×

Perusahaan Tambang di Pohuwato: Menjanjikan Kesejahteraan, Tapi Merampas Hak Hidup Rakyat

Sebarkan artikel ini
Salah satu pondok milik penambang tradisional yang di bongkar perusahaan. (Foto: Dok. Hibata.id)
Salah satu pondok milik penambang tradisional yang di bongkar perusahaan. (Foto: Dok. Hibata.id)

Hibata.id – Di balik gemerlap janji investasi dan gempita pembangunan, tersembunyi luka yang tak kunjung sembuh. Di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, tambang emas bukan sekadar cerita tentang kekayaan alam, melainkan tentang keadilan, hak hidup, dan suara rakyat kecil yang terus dipinggirkan.

Konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan tambang kembali memanas. Sementara pemerintah dan pemodal menggembar-gemborkan investasi tambang sebagai mesin penggerak ekonomi, warga justru mempertanyakan: untuk siapa sebenarnya investasi ini? Apakah untuk rakyat, atau hanya untuk segelintir korporasi besar?

Scroll untuk baca berita

Selama ini, perusahaan tambang di Pohuwato dipandang sebagai penyelamat ekonomi daerah: menciptakan lapangan kerja, membangun infrastruktur, dan mengangkat perekonomian lokal.

Namun, di balik narasi manis itu, warga menyaksikan kenyataan yang jauh lebih pahit. Lahan mereka diambil dengan dalih “tali asih” atau ganti rugi sukarela, namun kenyataannya, rasa keadilan justru hilang.

“Lahan kami diambil begitu saja, tapi kami kehilangan mata pencaharian. Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami ingin dihargai sebagai manusia,” kata Arhan, seorang warga yang tanahnya tergerus proyek tambang.

Baca Juga:  PETI Merambah ke Botubilotahu, Gunakan 7 Alat Berat: Apakah Aparat Tahu?

Arhan menambahkan bahwa tanah milik Suldani yang belum dibayar oleh perusahaan menunjukkan ketidakjelasan dan ketidakadilan. Ia bilang, yang dibayar cuma tromol untuk menghentikan operasional tambang di Pani.

“Tanah Suldani belum dibayar, tapi anak-anaknya masih bekerja di lokasi tersebut. Bahkan, rumah Suldani yang belum dibayar, tak berani dibongkar oleh perusahaan,” terangnya.

Nilai ganti rugi yang diberikan jauh dari harga wajar. Bagi mayoritas warga, yang tak punya pilihan lain selain menerima atau tersingkir, keputusan ini adalah pukulan berat. Tanah bukan hanya sekadar benda; itu adalah mata pencaharian, identitas, dan masa depan mereka.

“Kami Cuma Mau Hidup, Bukan Dicabut Haknya”

Kisah pilu ini semakin tajam di kawasan tambang emas Pani, Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia. Pada Kamis, 24 April 2025, bentrokan kembali pecah. Sekuriti perusahaan tambang yang dikelola PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS) dilaporkan melakukan pembongkaran paksa terhadap pondok dan talang milik penambang rakyat.

Baca Juga:  Mahasiswa Desak Kejati Gorontalo Telusuri Mafia Tanah di Bonebol

Arhan, yang turut menyaksikan kejadian itu, mengungkapkan dengan suara bergetar, “Tanah itu belum dibayar. Tapi setiap kali patroli datang, pondok dan talang kami dihancurkan. Tempat yang kami sebut ‘Mutiara’ kini menjadi medan penggusuran. Tak ada putusan hukum, tak ada kesepakatan ganti rugi, tapi alat berat tetap bergerak.”

Para penambang rakyat yang bergantung pada emas sebagai penyambung hidup kini kehilangan tempat berteduh. Tenda kuning mereka rata dengan tanah, pos penjagaan dibongkar. Tak ada lagi ruang untuk suara mereka.

“Ini bukan sekadar tentang emas. Ini tentang kemanusiaan. Tentang hak untuk hidup,” sesal Arhan, yang mengungkapkan bahwa informasi mengenai hal ini sudah sampai ke Presiden Prabowo Subianto, namun belum ada tindakan nyata.

Respons Perusahaan: “Kami Sudah Imbau”

Pihak PT PETS mengakui adanya pembongkaran, tetapi mereka menegaskan bahwa aktivitas di wilayah yang disebut “Mutiara” dilakukan karena area tersebut termasuk dalam konsesi perusahaan.

Humas PT. PETS, Kurniawan, mengatakan bahwa setelah berdialog, warga penambang bersedia membongkar sabua dan menghentikan aktivitasnya.

Baca Juga:  Viral Galang dan Ayahnya yang Lumpuh, Semangat Bersekolah Meski dengan Keterbatasan

“Tali asih sudah diberikan sejak 2023, jadi warga seharusnya tidak lagi melakukan kegiatan di sana,” ujar Kurniawan, merujuk pada pembayaran yang diklaim sudah dilakukan.

Pemerintah daerah kini didesak untuk mengambil langkah serius. Tak cukup hanya menjadi penengah dalam ketegangan ini; diperlukan upaya konkret untuk membela kepentingan rakyat.

Organisasi masyarakat sipil dan pegiat lingkungan turut menyerukan transparansi dan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh aktivitas pertambangan di kawasan ini. Eksploitasi sumber daya alam yang terus berlangsung harus dievaluasi agar tidak merugikan masyarakat dan mengancam kelestarian lingkungan.

Investasi yang menyingkirkan rakyat dan merampas tanah mereka—apakah ini masih layak disebut pembangunan? Bila kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir elit, sementara rakyat kecil dirampas hak-haknya, apakah ini bukan penjajahan baru?

Kini, satu pertanyaan besar kembali mengemuka: pembangunan untuk siapa, dan sejauh mana manfaatnya sampai ke rakyat yang sesungguhnya?

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600