Scroll untuk baca berita
Kabar

PETI Dekat Ibu Kota Marisa Dibiarkan Merajalela: Warga Tercekik Lumpur, Aparat Diam?

×

PETI Dekat Ibu Kota Marisa Dibiarkan Merajalela: Warga Tercekik Lumpur, Aparat Diam?

Sebarkan artikel ini
Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang hanya sepelemparan batu dari pusat pemerintahan terus berlangsung liar, tanpa tersentuh hukum. (Foto: Dok. Istw Hibata.id)
Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang hanya sepelemparan batu dari pusat pemerintahan terus berlangsung liar, tanpa tersentuh hukum. (Foto: Dok. Istw Hibata.id)

Hibata.id – Wajah ibu kota Kabupaten Pohuwato, Marisa, kian tercoreng. Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang hanya sepelemparan batu dari pusat pemerintahan terus berlangsung liar, tanpa tersentuh hukum. Di Desa Teratai, Kecamatan Marisa, deru ekskavator saban hari meraung, menggali bukit, mencabik tanah, menebar lumpur, lalu pergi tanpa peduli jejak kehancuran yang ditinggalkan.

Pantauan Hibata.id pada Sabtu (6/7/2026) memperlihatkan pemandangan yang memuakkan: alat berat leluasa “menari” di tengah kubangan besar. Lumpur keruh terseret air hujan, mengaliri saluran warga, bahkan merendam akses jalan. Ironisnya, di tengah kerusakan nyata ini, para pelaku PETI bebas berkeliaran — seolah hukum hanya hiasan, dan aparat penegak hukum sekadar penonton.

Kenyataan getir ini dirasakan langsung oleh Nuridah, warga asli Desa Teratai. Setiap hari ia harus berjibaku melewati lumpur tebal yang menutup jembatan kecil di depan rumahnya. Tangisannya tertelan dentuman mesin tambang ilegal di atas bukit.

Baca Juga:  Diduga Mangkrak, Kadis PUPR Pohuwato Akhirnya Buka Suara Soal Proyek Jalan di Buntulia Barat

“Semenjak ada galian-galian di atas, lumpur menumpuk di depan rumah saya. Jembatan saya yang dulu kelihatan, sekarang sudah hilang tertimbun,” keluh Nuridah.

Sebelum tambang ilegal hadir, jembatan setinggi hampir satu meter itu masih berdiri kokoh, dengan air yang mengalir tenang di bawahnya. Kini, semuanya tenggelam. Bukan hanya jembatan yang lenyap, tetapi juga harapan akan lingkungan yang bersih dan aman.

“Sekarang tinggi lumpur melebihi jembatan saya. Rumah pun makin sulit dimasuki,” tambahnya.

Padahal, Pasal 158 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba sangat jelas menerangkan: setiap orang yang menambang tanpa izin diancam hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda Rp100 miliar. Namun, di Teratai, hukum hanya tinggal teks — tidak pernah hidup di lapangan.

Alih-alih menindak tegas pelaku, Polres Pohuwato justru dianggap menutup mata. Aktivitas PETI terus menggila, merusak lingkungan, memperdalam penderitaan rakyat kecil. Sungai keruh, lumpur menggunung, dan aparat tak kunjung bergerak.

Baca Juga:  Berburu Diskon Jelang Idul Fitri, Pusat Perbelanjaan Diserbu Warga Gorontalo

Masalah ini juga berpotensi menyulut konflik sosial. Warga mulai gerah: di satu sisi mereka dicekik lumpur, di sisi lain para penambang liar menumpuk untung tanpa hambatan hukum. Desa Teratai kini menjadi cermin betapa hukum bisa tumpul ke atas, tajam ke bawah. Para penambang ilegal seolah kebal pidana, walau bukti kejahatannya terlihat jelas.

Jika terus dibiarkan, sedimentasi bukan hanya akan menelan jembatan milik Nuridah, tetapi juga perlahan menghancurkan sawah, kebun, sungai — bahkan rasa keadilan warga yang terus dikubur dalam lumpur kerakusan.

Padahal, isu ini sebelumnya telah diangkat oleh anggota DPRD Provinsi Gorontalo sekaligus Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Pohuwato, Limonu Hippy. Ia menilai aktivitas PETI di sekitar pusat kota seharusnya tak luput dari pengawasan aparat.

“Kalau mau bicara menolak atau menerima, itu bukan ranah DPRD. Karena di situ ada masyarakat. Ada dampak positif, ada juga negatif,” kata Limonu.

Baca Juga:  Kang Gobang di Sinetron Preman Pensiun Meninggal Dunia

Namun secara regulasi, ia menegaskan, aktivitas tambang di Marisa jelas melanggar aturan. Lokasinya tidak masuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), apalagi Wilayah Pertambangan (WP) resmi.

“Kalau bukan WPR, maka penanganannya ada di APH (Aparat Penegak Hukum), bukan DPRD,” tegasnya.

Sebagai Ketua APRI, Limonu menyatakan mendukung penambang rakyat selama sesuai aturan. Tapi jika melanggar, maka DPRD tak bisa berbuat banyak.

“Yang harus didesak itu APH. Kalau tidak masuk WP, ya tidak boleh. Kalau saya bilang tidak boleh, tapi APH diam saja, ya buat apa? Masa saya mau penjarakan masyarakat saya sendiri?” ujarnya.

Ia juga mengingatkan dampak lingkungan yang serius, seperti sedimentasi sungai yang memicu banjir dan pencemaran tanah. “Sedimentasi ini bahaya. Bahkan limbahnya dibuang ke lahan warga. Ini bisa picu kemarahan,” tutup Limonu.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600