Hibata.id – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat kembali menjadi sorotan publik. Hak komunal dan hak ulayat yang melekat pada komunitas adat dinilai sebagai penopang utama keberlanjutan lingkungan dan identitas bangsa.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat bersama Forest Watch Indonesia menggelar dialog publik di Jakarta, Senin (25/8), dengan tema “Hak Komunal dan Hak Ulayat dalam RUU Masyarakat Adat.” Forum ini menghadirkan anggota legislatif, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil untuk membahas substansi RUU sekaligus mencari jalan keluar dari kebuntuan politik yang selama 15 tahun menghambat proses legislasi.
Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Badan Legislasi DPR RI, I Nyoman Parta, menegaskan urgensi RUU tersebut.
“Perdebatan soal nama, apakah Undang-Undang Masyarakat Adat atau Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat, tidak boleh mengaburkan substansi. Kekhawatiran soal feodalisme baru bisa diatasi dengan regulasi yang jelas. Negara harus hadir, karena semakin lama RUU ini tertunda, konflik tanah adat akan terus terjadi,” ujarnya.
Menurut Nyoman, masyarakat adat merupakan produsen kebaikan sekaligus benteng lingkungan hidup. “Dalam soal menjaga lingkungan, tidak ada tandingan masyarakat adat. Maka, mengapa RUU ini tidak kunjung disahkan?” tegasnya.
Pandangan senada disampaikan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Mercy Barends, yang menekankan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan mandat konstitusi sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
“Masyarakat adat adalah benteng terakhir hutan, gunung, pesisir, dan pulau kecil kita. Tanpa mereka, ruang hidup kita akan tercerabut,” kata Mercy.
Ia menambahkan, ada lima faktor utama yang menghambat pengesahan RUU, yakni tarik-menarik kepentingan politik fraksi, kepentingan investasi, persoalan hukum dan regulasi, faktor sosial-budaya, serta teknis administratif.
Dari kalangan akademisi, Prof. Dr. Rr. Catharina Dewi Wulansari, Ph.D, Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan, menilai hak ulayat dan hak komunal tidak boleh dipersempit hanya pada urusan kepemilikan tanah.
“Ketika tanah diambil, pengetahuan lokal, tradisi, dan kepercayaan yang melekat juga hilang. RUU ini harus memberikan perlindungan menyeluruh agar masyarakat adat tidak semakin tersisih,” katanya.
Ia menekankan bahwa prosedur pengakuan hak adat harus sederhana dan mudah diakses, karena banyak komunitas adat menghadapi keterbatasan finansial dalam membuktikan klaim mereka.
Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Anggi Putra Prayoga, menegaskan pentingnya percepatan legislasi.
“Tanpa pengakuan hukum yang tegas, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam, keanekaragaman hayati, pengetahuan lokal, bahkan bisa gagal mencapai target iklim global. Undang-Undang Masyarakat Adat adalah jawabannya,” pungkas Anggi.










