Opini

Trio Barbie dan Membaca Kembali Pemikiran Dua Intelektual Gorontalo

×

Trio Barbie dan Membaca Kembali Pemikiran Dua Intelektual Gorontalo

Sebarkan artikel ini
Djemi Radji, Fasilitator Media Social For Peace
Djemi Radji, Fasilitator Media Social For Peace

Tak berselang lama, aksi dua pentolan trio barbie di bawah panggung pun mendapat perhatian dua intelektual Gorontalo.  Lewat ulasan mereka yang  tayang di media online lokal itu mengundang perhatian pembaca. Akademisi Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Dr. Funco Tanipu, MA mengulasanya dengan judul; “Trio Barbie, Lalu Bagaimana?”. Sementara ulasan Dr. Samsi Pomalingo, MA berjudul; Globalisasi dan Budaya Pop : Fenomena Trio Barbie”.

Dalam konteks ini, ulasan pemikiran kedua tokoh intelektual tersebut patut diapresiasi. Pada ulasan Doktor Funco, penulis mencermati aspek sosiologis hukum yang ditawarkan. Tawaran itu, pertama; bahwa perlunya aturan yang lebih tegas pada tiap pagelaran atau pertunjukkan. Tawaran ini tentu beralasan agar terciptanya kedamaian dan ketertiban (peace and order) dalam masyarakat kita. Pertanyaanya apakah dengan adanya aturan adalah solusi tepat. Dan apakah  menjamin dua kasus yang belakangan ini viral tidak akan terulang di masa yang akan datang? Mungkin saja wacana yang dikemukakan ada upaya ‘warning’ bagi pemerintah kita agar lebih peka terhadap problem sosial yang sedang berlangsung. 

Dan barangkali, Doktor Funco sedang menyampaikan pesan tersirat agar pemerintah Gorontalo tidak “terlelap” begitu saja, lalu terjaga kembali dan bersiap menyibukkan diri pada ritus-ritus birokrasi dan ceremonial belaka. “Ada problem sosial yang serius sedang mengancam warga, termasuk didalamnya kasus trio barbie”, begitu kira-kira. 

Di satu sisi, Doktor Funco sedang ‘mengasah’ kembali kepekaan lembaga keagamaan di Gorontalo terhadap problem sosial tadi. Apakah yang dimaksud Lembaga keagaman adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan MUI?, ya mungkin saja. Akan tetapi, di sini Jelas, dalam ulasan itu, harapan agar lembaga keagamaan lebih proaktif menyikapi berbagai problem sosial, hadir memberi solusi. Namun nyatanya, lembaga keagaman di Gorontalo dinilai selalu absen. Absen dari berbagai isu. Mulai dari isu lingkungan dan perubahan iklim yang mengancam umat, ketahanan pangan, korupsi, konflik pertambangan,  politik uang, kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Bahkan ada dari anggota lembaga keagamaanlah justeru tercatat sebagai pelaku pelecehan dan kekerasan seksual dan perusak lingkungan. 

Dan mungkin saja yang dimaksud Doktor Funco, bahwa lembaga keagamaan tidak larut  pada ritus-ritus keagamaan dan konflik internalnya, akan tetapi lebih peka terhadap demoralisasi dan krisis keteladanan. Demoralisasi sendang masif-masifnya, dan krisis keteladanan persoalan keduanya. 

Keteladanan kita telah  ‘diambil paksa’ oleh mereka yang jumlah followernya banyak dan ‘penghamba’ meta, namun kontennya penuh lelucon dan kejar rating. Sementara para kyai, ustadz dan ustadzah sepi followers. Padahal pesan-pesan keagamaan dari merekalah sangat penting guna menuntun kita menuju masa depan yang berkeadaban yang thayyibatun wa rabbun ghafur (menuju negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya).

Hal lain yang dikemukakan Doktor Funco, patut diteladani. Misalnya, ia mengajak agar warganet tidak melakukan perundungan dan bullying.  Dan mengingatkan kita bahwa ada nilai kearifan lokal Gorontalo yakni; ‘tolianga, tolopani, dulohupa menjadi dasar melihat masalah yang ada. Dengan begitu, warganet tidak memberi penghakiman, perundungan dan bullying secara membabi-buta kepada siapa saja.

‘Berat Sebelah’ dan Ancaman Sosial Kita

Namun setelah mencermati lebih utuh ulasan Doktor Funco,  ia terbaca ‘menghindar’ dan ‘berat sebelah’ dalam kasus ini, utamanya pada aksi dua pentolan trio barbie. Terkesan ‘membela’ dan tidak memberi penilaian kritis pada aksi itu. Meskipun narasi di dalam ulasan tersebut banyak memberi catatan yang sifatnya solutif, namun tetap saja tercium ‘pembelaannya’ yang menyengat. Doktor Funco sadari betul, bahwa trio barbie memiliki followers yang lumayan banyak di sosial media. Akan tetapi, pesan yang disampaikan trio barbie dalam berbagai unggahan selama ini justru nirfaedah.

Baca Juga:  Ramalan Zodiak 18 Maret 2024 Untuk Hari Ini

Penulis menemukan potongan video yang menunjukan salah satu personil trio barbie sedang kencing berdiri dipinggir jalan lalu dibuat konten. Dan telah ditonton ribuan warga meta. Penulis menduga, jangan-jangan Doktor Funco ‘menghindari’ cibiran followers militan trio barbie? Wallahu’alam.  

Aksi Trio Barbie, menurut penulis adalah proses ‘penyimpangan’ goyang ‘ngebor’ yang umumnya dilakukan di atas panggung, yang diperkenalkan Inul Daratista sebelumnya, kini beralih di bawah panggung dengan menggunakan ‘media’ muka penonton. Penilaian warganet kita tentu suatu yang kontra produktif. Karena bagaimanapun warganet kita punya semangat sama yang dimiliki Doktor Funco dan Dr Samsi, namun berbeda cara menyikapinya. 

Sikap warganet memberi penilaian negatif di sosial adalah wajar. Alasanya tentu menjaga moralitas sesama muslim. Meski negatif penilaiannya, namun itu adalah ikhtiar kolektif mereka dalam menegakkan amar ma’aruf nahi mungkar, dalam kehidupan bersosial media. Jika tak ada aksi goyang ‘ngebor’ tepat dikulit muka penonton, barangkali tidak ada juga umpatan yang signifikan menyerang trio barbie. 

Namun disatu sisi, penulis juga tidak sependapat dengan sikap warganet yang berlebihan itu.  Mulai dari wacana ‘boikot trio biji’, ‘boikot trio biji tolor’ dan larangan lainnya, yang justeru bertentangan dengan konstitusi sebagaimana disinggung Doktor Funco dalam ulasannya.

Biduan-biduan kini hanya mengandalkan aksi vulgar dan kekocakkan semata, namun suara dan permainan musik berantakan. Mereka sadari betul, konten-konten demikian banyak diminati pasar. Atau mungkin saja trio barbie belum mencapai tingkat keseniman yang matang dewasa ini, dan hanya berorientasi uang, ketenaran melalui goyang ‘ngebor’ penuh absurd itu. 

Biduan-biduan lokal kita jarang menjiwai suara, nada, dan lirik  seperti Raja Dangdut Rhoma Irama, juga Elvi Suka kasih sebagai ratunya. Atau penghayatan lagu perlu belajar kepada Ismail ‘padeti’ dan Owan Boalemo. Membandingkan keempat seniman dengan trio barbe tentu ibarat langit dan bumi.

Tsunami Konten Eksploitatif  

Laman media sosial kita saat ini sedang sesak dengan ragam informasi yang merugikan warganet Mulai dari kasus penipuan online, pencurian data, misinformasi, berita palsu dan ‘tsunami’ konten eksploitatif.  Di sana ada konten mandir lumpur, gimmick drama, caci-maki, menertawakan kelemahan orang lain dan memanfaatkan ketakutan orang  sebagai bahan candaan dsb. Doktor Funco barangkali bisa mengajak para konten kreator termasuk, trio barbie turut ikut mencerdaskan kehidupan bangsa di sosial media. Bukankah itu menjadi tanggung jawab kita semua, termasuk trio barbie?. Trio Barbie bisa melakukan apa saja yang mereka kehendaki selagi tidak bertentangan dengan konstitusi.

Dari pengamatan penulis, trio barbie terkesan ‘berat’ untuk minta maaf kepada warganet kita. Dan hal ini jelas tergambarkan pada unggahan-unggahan mereka, pasca aksi mereka viral. Jangankan minta maaf, merasa bersalah pun tidak sama sekali. Padahal mereka ini bisa dikategorikan publik figure, yang dapat memberikan dampak positif yang cukup signifikan bagi warganet. Namun sejarah telah mencatat, menyimpan dengan rapi. Dan publik kita, yang didalamnya dominan milenial dan Gen Z, lama-kelamaan akan menemukan dalil dan bukti, bahwa aksi kedua pentolan trio barbie itu adalah wajar dikemudian hari Dengan demikian, aksi goyang ‘ngebor’ ala trio barbie tepat di kulit muka penonton akan dianggap wajar di tahun 2050. 

Baca Juga:  Mengatasi Krisis Etika Politik, Pentingnya Pendidikan Karakter untuk Politisi Pohuwato

Biarkan sejarah yang akan mencatat, apakah kekhawatiran penulis berlebihan atau tidak

Lalu bagaimana dengan ulasan pemikiran Dr. Samsi Pomalingo dalam konteks ini? Ulasan Dr. Samsi cukup menyita perhatian penulis. Namun sebelum itu, penulis perlu menyatakan dalam sanggahan ini, bahwa penulis sampai kapanpun akan tetap takzim dan menerima lapang dada ketika dinasehati. Selain ia adalah senior penulis sendiri di PMII dan NU, di sisi lain ia adalah rujukan ilmu dan keteladanan. 

Bagi penulis, senior yang satu ini cukup unik dan langka. Unik karena ia adalah pribadi yang welas asih, tidak pendendam sekalipun kepada juniornya sendiri. Ia adalah senior yang banyak memberi ruang kepada junior lain agar senantiasa kritis. “Katakan saja, meskipun itu pahit terasa”, inilah yang dirasakan penulis. 

Langka, karena Dr. Samsi tidak mengenal sekat-sekat, apakah dia minoritas ataupun mayoritas. Baginya, semua harus diperlakukan sama. Low profile adalah label yang mungkin saja tepat disematkan kepadanya. Ia mudah akrab dengan siapa saja. Tua-muda adalah teman, semua dianggap guru meskipun dari sisi usia terpaut jauh darinya. Perjumpaan-perjumpaan dengan mereka berbeda keyakinan, etnis dan berbeda orientasi seksual daftar ‘jam terbangnnya’. Di tiga kalangan ini, Dr. Samsi cukup dikenal dan disegani. Mungkin karena ‘jam terbang’ tadi dan pengalaman yang cukup banyak dengan mereka menjadikan ia berpikir dan berhati terbuka.

Sebagai junior, penulis cukup memahami betul karakter senior satu ini. Masih jelas dalam ingatan penulis, setiap kali diminta memberikan materi dalam pengkaderan organisasi, medan berat menuju tempat itu ia akan lalui. Hujan, panas dan jalan berlubang tak menyurutkan semangatnya. Meski forum pengkaderan tidak menyediakan air kemasan dan kue, tak mengurungkan niatnya. Ia terus konsisten hadir penuh ketika diminta memenuhi undangan. 

Mungkin saja ia memahami betul dunia aktivis mahasiswa. Karena ia lahir dan ditempa dalam dunia aktivis . “Jika tak mengenal lebih dekat tentang Dr. Samsi, maka celakalah ia. Jika keliru mengenal ia, maka kehidupan akan dilumuri kepedihan dan asumsi berlebihan”, begitu kira-kira. 

Nah, berbeda dengan ulasan Doktor Funco. Dalam ulasan Dr. Samsi justeru terkesan ‘memaklumi’ aksi dua pentolan trio barbie, ditambah lagi dengan pendekatan studi budaya. Bagi penulis, pendekatan yang dilakukan Dr. Samsi dalam kasus trio barbie sah-sah saja, selagi pendekatan studi itu relate dengan objek yang dikemukakan. Pertanyaannya adalah, apakah pendekatan studi budaya yang dikemukakan Dr. Samsi sebelumnya relate dengan perilaku dua pentolan trio barbie? Style dan Perilaku dua hal yang berbeda

Dr. Samsi sangat apik mengurai fenomena budaya pop yang lahir dari dampak globalisasi. Keberadaan budaya pop sebagaimana diurai Dr Samsi yakni; Japanese Pop, J-Rock, Ji-Hop, K Pop dan sejenisnya, adalah replika trio barbie. Setahu penulis, nama-nama grup band yang disebutkan dalam ulasan itu tidak merepresentasi trio barbie.  Jika yang dimaksud budaya pop oleh Dr. Samsi adalah style rambut, fashion, gimmick, produk budaya, ditambah kuliner, komik, musik bahkan teknologi ala jepang dan korea tentu tidak relete dengan perilaku absurd ini. Dari sinilah penulis merasa perlu ‘interupsi’. 

Baca Juga:  Menilik Tipe Pemilih Dalam Pileg 2024

Asbabya, Dr. Samsi memberikan pemaknaan yang sama antara perilaku goyang ‘ngebor’ ala trio barbie dengan budaya populer jepang dan korea tadi. Tentu saja perilaku yang dua pentolan trio barbie sama sekali tidak representasi budaya populer dimaksud. Warganet kita sudah familiar dengan budaya populer ala jepang, korea, taiwan sejak personil F4 Meteor Garden besutan Jerry Yan alias Liao Yangzhen alias Tao Ming Se menghipnotis kalangan muda kita dengan rambut yang ‘dipaksa’ lurus dan celana gombrong. Bahkan mungkin diantara kita adalah ‘korban’ mereka. Bagi penulis, kasus adalah murni ala trio barbie, dengan alasan menghibur dan mengharapkan imbalan dan ketenaran. 

Kalangan biduan lainnya menilai trio barbie ‘Moodede’o’ dan mencederai keseniman di Gorontalo. Untuk itu, dengan segala hormat, bahwa pendekatan budaya pop yang dikemukakan Dr. Samsi dalam ulasan sebelumnya kurang tepat. Karena budaya pop ala jepang dan korea tidak sama sekali menampilkan keabsurdan seperti halnya trio barbie. Bukankah sah-sah saja jika kita menyoal perilaku dua pentolan trio barbie yang dapat mengancam kecerdasan kehidupan berbangsa kita di sosial media?

Kufur Nikmat

Trio Barbie perlu bersyukur sejauh ini. Perjalanan karir di dunia hiburan cukup mentereng. Sebagai biduan-biduan energik nan lucu, trio barbie juga adalah publik figur. Punya pengaruh dan ‘jamaah’ yang banyak di sosial media. Jadilah figure panutan, tidak sombong dan lapang dada. Karena sampai detik ini, setahu penulis, tak ada satupun kasus persekusi yang dialami mereka yang berbeda orientasi seksual. Jika pun ada kasus, setahu penulis asabanya adalah asmara, yang melahirkan cemburu  dan berakibat petaka. 

Trio Barbe perlu menyadari betul bagaimana penerimaan masyarakat Gorontalo sejak dulu terhadap mereka yang non hetero. Maksud penulis ialah, trio barbie perlu menjaga emosi sekelompok orang yang mengaku singa-singa Allah di Bumi, namun berbuat tidak adil di mata publik sebagaimana singa-singa Allah ditempat lain.

Penerimaan hangat dan ramahnya masyarakat Gorontalo terhadap eksistensi non hetero, perlu disyukuri. Di dunia maya tentu ada penolakan, namun secara nyata, keberadaan kelompok non hetero tidak pernah dipersoalkan. Bahkan tak ada razia sebagaimana di daerah lain. Daerah yang dilabeli ‘Serambi Madinah’ ini justeru mencerminkan Madinah Al Mukarramah, yang terbuka, adil nan toleran. 

Faktanya struktur sosial masyarakat kita memberi ruang untuk tumbuh bersama, tanpa melihat latar belakang sosial, agama, suku, termasuk mereka yang berbeda orientasi seksual. Ini yang patut disyukuri.  

Bukankah penerimaan-penerimaan dan perjumpaan-perjumpaan dengan masyarakat heteroseksual Gorontalo sungguh nikmat, bukan? Lalu nikmat mana lagi yang kalian dustakan, wahai trio barbie?

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600