Scroll untuk baca berita
Kabar

BKSDA Bungkam Soal PETI Dengilo yang Menjarah Cagar Alam Panua

×

BKSDA Bungkam Soal PETI Dengilo yang Menjarah Cagar Alam Panua

Sebarkan artikel ini
Lubang tambang ilegal di Dengilo. Foto: Sarjan Lahay. Mongabay Indonesia
Lubang tambang ilegal di Dengilo. Foto: Sarjan Lahay. Mongabay Indonesia

Hibata.id – Setelah sederet janji untuk menindak tegas aktivitas tambang emas ilegal (PETI) di Cagar Alam Dengilo, Kecamatan Dengilo, publik kini hanya disuguhi diam. Ketika kembali dikonfirmasi pada Kamis (26/6/2025) terkait hasil operasi lapangan yang sebelumnya disebut akan dilakukan, Syarifuddin Hadju, Kepala Seksi KSDA Wilayah II Gorontalo. Tak ada tanggapan. Tak ada penjelasan. Tak ada transparansi.

Padahal, dampak dari aktivitas tambang ilegal ini bukan lagi sebatas kerusakan lingkungan. Bukit telah diratakan, hutan digunduli, dan satu nyawa telah melayang. Namun, lembaga yang semestinya menjadi garda terdepan pelindung kawasan konservasi justru menghadirkan wajah paling pahit: abai dan bisu.

Scroll untuk baca berita

Deru ekskavator dan kepulan debu emas ilegal kini menjadi pemandangan harian di wilayah yang seharusnya sakral: Cagar Alam Panua. Kawasan konservasi yang ditetapkan untuk melindungi keanekaragaman hayati kini berubah menjadi arena eksploitasi rakus. Hukum diinjak-injak, dan aparat hanya hadir saat kamera menyala.

Syamsuddin Hadju, Kepala Seksi KSDA Wilayah II Gorontalo, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, sempat angkat bicara pada Kamis (12/6/2025) lalu. Ia mengakui adanya aktivitas tambang tanpa izin di kawasan tersebut, bahkan menyebutkan adanya korban jiwa sebagai bukti betapa parahnya situasi di lapangan.

Baca Juga:  PETI Merambah ke Botubilotahu, Gunakan 7 Alat Berat: Apakah Aparat Tahu?

“Kami sudah mendapatkan informasi terkait aktivitas tambang emas tanpa izin yang telah menelan korban jiwa itu,” ujarnya.

Namun, alih-alih menunjukkan ketegasan, penjelasan Syamsuddin justru cenderung menenangkan situasi, seolah hendak meredam kemarahan publik. Ia menyebut korban meninggal bukan karena tertimbun longsor, melainkan karena penyakit bawaan yang kambuh.

“Yang meninggal itu karena penyakitnya kambuh, bukan karena tertimbun. Sebelum naik sempat makan daging, lalu sakitnya kambuh,” jelasnya.

Namun penjelasan ini tak mengubah satu fakta mendasar: korban meninggal di lokasi tambang emas ilegal, di dalam kawasan konservasi yang seharusnya steril dari segala bentuk pertambangan. Nyawa kembali menjadi korban dari lemahnya penegakan hukum dan minimnya kehadiran negara.

Tambang ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif — ini adalah kejahatan ekologis. Wilayah yang seharusnya menjadi laboratorium kehidupan kini berubah menjadi tanah kematian yang terus digerogoti. Alam dilukai, hukum diabaikan, dan pengawasan seolah hanya formalitas belaka.

Baca Juga:  Tips Memilih Ternak Kurban Idul Adha ala Dokter Hewan di Gorontalo

Syamsuddin sempat menyatakan bahwa timnya akan segera turun ke lokasi dan mengambil tindakan jika ditemukan pelanggaran. “Insyaallah hari ini tim saya akan turun. Kalau kedapatan, maka kami akan tindak,” katanya tegas kala itu.

Namun saat publik menanti bukti dan hasil konkret, justru muncul keheningan. Syarifuddin Hadju —memilih diam. Tak ada laporan operasi. Tak ada pernyataan resmi. Tak ada wujud pertanggungjawaban.

Kondisi ini diperparah oleh sikap lembaga lain. Jemie S. Peleng, Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat Wilayah III Pohuwato, menyatakan bahwa pihaknya hanya sebatas memberi imbauan kepada para pelaku tambang.

“Kami sudah berulang kali melarang, tapi mereka kembali lagi ke sana. Kami tidak bisa menindak karena itu wewenang BKSDA,” katanya.

Kematian Heri Inaku pada malam Selasa, 10 Juni 2025, menjadi alarm keras yang seharusnya menggugah semua pihak. Meski penyebab kematiannya masih simpang siur — antara stroke, kolesterol, hingga longsor — satu hal tetap jelas: ia meninggal di tambang emas ilegal di dalam kawasan konservasi.

Baca Juga:  BMKG Gorontalo Prediksikan Hujan Akan Turun 5 Hari Kedepan

“Dia makan daging, minum kopi, lalu terkena serangan stroke,” kata Jemie, seolah ingin menepis tanggung jawab dari tragedi yang terjadi.

Lebih memilukan, bahkan Kapolres Pohuwato AKBP Busroni ikut memilih diam. Saat dihubungi wartawan Hibata.id pada Rabu (11/6/2025), tak ada satu pun pernyataan yang keluar. Sikap diam yang mencerminkan buruknya pengawasan dan lemahnya komitmen penegakan hukum.

Dalam negara yang sehat, pejabat yang lalai akan dimintai pertanggungjawaban. Namun di Gorontalo hari ini, diam menjadi cara paling aman untuk lari dari tanggung jawab. BKSDA diam. Aparat diam. Sementara itu, alam sekarat, rakyat semakin miskin, dan emas terus mengalir — bukan ke rakyat, tapi ke kantong para pemburu rente yang tak tersentuh hukum.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600