Hibata.id – Langit cerah menyambut kedatangan warga yang perlahan memenuhi halaman kecil di Desa Pelita Hijau, Kecamatan Bonepantai.
Di bawah tenda sederhana yang berdiri di tengah teriknya matahari, warga berkumpul bukan untuk pesta. Melainkan untuk menyampaikan harapan.
Tidak hanya harapan, mereka mengungkap kegelisahan mereka secara langsung kepada wakil rakyat mereka, Femmy Udoki, yang datang dalam agenda Reses Masa Sidang III Tahun 2024–2025, Kamis (26/06/2025).
Femmy, yang terpilih dari Daerah Pemilihan II Bone Bolango, datang bukan sekadar memenuhi kewajiban formal. Dalam sambutan awalnya, ia menyelipkan pesan yang lebih dalam, tentang komitmen, kedekatan, dan kehadiran nyata seorang seorang wakil rakyat.
“Reses ini bukan formalitas. Jangan sampai saya hanya datang saat kampanye lalu menghilang. Silakan sampaikan apa pun, saya di sini untuk mendengar,” ujarnya, membuka ruang dialog.
Dialog pun mengalir. Suara pertama datang dari seorang tokoh masyarakat, Abdul Rahman Barisi. Dengan nada hati-hati namun tegas.
Ia menyuarakan kegelisahan yang telah lama bergema di telinga warga. Yaitu rencana aktivitas Perusahaan ekstraktif di bidang pertambangan yang berdekatan langsung dengan di wilayah Desa.
“Air kami bisa tercemar. Anak cucu kami bisa kehilangan tanah. Apa yang akan tersisa kalau tambang itu masuk?” ucapnya, disambut anggukan khawatir dari hadirin.
Warga khawatir, kehadiran tambang tak hanya membawa petaka bencana, tetapi juga meninggalkan jejak panjang berupa kerusakan ekologis yang tak mudah diperbaiki.
Mereka tahu, perusahaan itu memiliki legalitas, tetapi mereka juga tahu bahwa dampaknya bisa sangat nyata.
Femmy tak menampik dilema itu, dirinya menyebut bahwa status legal bukan berarti tanpa risiko.
“Perusahaan memang legal. Tapi dampaknya ke masyarakat harus jadi pertimbangan serius. Ini harus ditangani dengan sangat hati-hati. Saya akan sampaikan langsung ke Gubernur Gorontalo,” katanya.
Aspirasi tak berhenti di soal tambang, Abdul juga mengangkat isu yang tak kalah penting. ketiadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang Adat di Provinsi Gorontalo.
Di wilayah-wilayah seperti Bonepantai, adat bukan sekadar simbol, melainkan sistem nilai dan perlindungan bagi masyarakat adat yang kian terdesak.
Femmy menyambut usulan itu dengan terbuka. Ia berkomitmen untuk membawanya ke lintas Komisi DPRD dan menggagas forum dialog lintas lembaga adat sebagai awal proses legislasi.
“Kalau kita bicara pembangunan berkelanjutan, maka perlindungan adat harus jadi pilar,” ujarnya.
Suara lain datang dari Arman Suleman, Kepala Desa Bilungala Utara. Kali ini ia bicara tentang banjir yang berulang. Sungai yang tak kunjung dinormalisasi, dan janji-janji pembangunan yang tertahan di atas meja birokrasi.
Ia mengusulkan pembangunan “boronjo” atau tanggul pelindung sebagai solusi konkret.
“Kami sudah lelah mengungsi setiap hujan deras. Warga butuh kepastian, bukan sekadar janji,” katanya lirih.
Femmy menjawab bahwa ia telah bertemu dengan pihak Balai Sungai. Namun, semua tergantung pada pengajuan proposal dari pemerintah kabupaten.
“Proposalnya harus ditandatangani Bupati. Kalau sudah masuk, kami akan kawal hingga ke Balai Sungai,” ujarnya.
Suara Perempuan dan Anak-Anak
Kelompok ibu-ibu di Bonepantai juga tak ketinggalan. Mereka meminta bantuan alat pertanian, bantuan masjid, serta fasilitas bermain untuk anak-anak PAUD dan TK.
Permintaan sederhana yang mencerminkan kebutuhan dasar pembangunan desa: pangan, spiritualitas, dan masa depan generasi muda.
Femmy akan memperjuangkan pengadaan alat pertanian melalui anggaran 2026 dan menyisipkan bantuan pendidikan anak usia dini ke dalam Pokok Pikiran (Pokir) DPRD yang ia usulkan.
Mata Rakyat dan Telinga Wakilnya
Di akhir pertemuan, satu hal menjadi terang, warga Bonepantai tak meminta banyak, hanya ingin didengar dan ditemani dalam menghadapi persoalan hidup mereka.
Dan bagi Femmy Udoki, reses ini bukan sekadar seremonial, tetapi ruang temu antara mata rakyat dan telinga wakilnya.
“Kalau semua ini saya diamkan, lalu untuk apa saya dipilih?” tuturnya pelan sebelum menutup agenda reses.