Hibata.id – Marsinah, seorang buruh perempuan yang berani memperjuangkan hak-hak pekerja, dikenal sebagai pahlawan buruh Indonesia. Nama Marsinah tak bisa dilepaskan dari perjuangan buruh di era 1990-an, khususnya dalam memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak pekerja di tengah rezim Orde Baru.
Tragedi yang menimpa dirinya pada Mei 1993 menjadi titik balik yang menggerakkan kesadaran nasional tentang perlunya perlindungan hak buruh di Indonesia.
Untuk mengenang jasa dan pengorbanannya, sebuah monumen didirikan di Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur, tepat di tepi Jalan Raya Baron.
Monumen ini berlokasi di seberang Jalan Marsinah, dekat dengan pemakaman umum tempat jenazahnya dimakamkan. Monumen berbentuk patung Marsinah yang berdiri tegak mengenakan kemeja dan rok, dengan sepatu kets, serta tangan kiri terkepal menunjuk ke atas. Patung ini menggambarkan semangat perjuangan Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak buruh.
Monumen ini sempat mengalami kerusakan pada 2014 setelah patung lama roboh akibat ditabrak truk. Patung baru yang didirikan kini semakin mempertegas peran Marsinah sebagai simbol perlawanan buruh Indonesia.
Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, sebagai anak dari pasangan Astin dan Sumini. Sejak muda, Marsinah sudah dikenal sebagai sosok yang gigih.
Meski hanya berpendidikan SLTA, ia memutuskan merantau ke Surabaya pada 1989 dengan harapan mengubah nasib. Di Surabaya, Marsinah tinggal bersama kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga, dan bekerja di berbagai pabrik.
Di pabrik plastik SKW, gaji yang diterima Marsinah sangat minim. Karena itu, ia mencari tambahan penghasilan dengan berjualan nasi bungkus. Setelah beberapa waktu, Marsinah berpindah ke PT Catur Putra Surya (PT CPS), sebuah pabrik arloji di Desa Siring, Sidoarjo, pada 1990.
Di PT CPS, Marsinah dikenal sebagai buruh yang aktif memperjuangkan hak-hak sesama pekerja. Ia bergabung dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) untuk mengorganisir aksi-aksi buruh.
Pada 1993, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan instruksi untuk menaikkan gaji pokok buruh sebesar 20%. Namun, banyak perusahaan, termasuk PT CPS, yang tidak segera memenuhi imbauan tersebut. Hal ini memicu gelombang unjuk rasa dari para buruh, dan Marsinah menjadi salah satu pemimpin aksi tersebut.
Pada 2 Mei 1993, Marsinah ikut serta dalam perencanaan aksi mogok yang dilakukan oleh buruh PT CPS. Namun, aksi ini mendapat tekanan dari pihak militer dan aparat pemerintah. Pada 5 Mei 1993, Marsinah dilaporkan menghilang setelah mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya yang dipaksa mundur dari perusahaan.
Keesokan harinya, tubuh Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di Nganjuk pada 9 Mei 1993. Hasil autopsi menunjukkan bahwa ia meninggal akibat penganiayaan berat dan perkosaan.
Kematian Marsinah memicu protes keras dari masyarakat yang menuntut keadilan dan pengusutan tuntas atas pembunuhannya. Namun, hingga kini pelaku pembunuhan Marsinah belum ditemukan, menjadikan kasus ini salah satu misteri besar dalam sejarah buruh Indonesia.
Marsinah dikenang sebagai pahlawan buruh yang memperjuangkan hak-hak pekerja di tengah penindasan. Ia dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien atas perjuangannya.
Kisah hidupnya terus hidup dalam ingatan banyak orang dan diangkat dalam berbagai karya seni, termasuk seni pementasan dan sastra. Keberanian Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak buruh menjadi inspirasi bagi generasi buruh masa kini untuk terus berjuang demi keadilan.
Marsinah adalah sosok yang tak hanya dikenang sebagai pahlawan buruh, tetapi juga sebagai simbol keberanian dalam memperjuangkan hak-hak pekerja di Indonesia.
Meskipun hidupnya berakhir tragis, perjuangannya tetap dikenang dan menginspirasi gerakan buruh hingga saat ini. Monumen Marsinah di Nganjuk menjadi saksi bisu dari pengorbanan dan semangatnya yang tak pernah padam dalam memperjuangkan keadilan sosial bagi buruh Indonesia.