Hibata.id – Di tengah kabar penertiban yang belum sepenuhnya terang, aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah tanah komunal di Desa Popaya, Kecamatan Dengilo, Pohuwato, terus berlangsung tanpa kendali. Tanpa izin, tanpa pengawasan, dan tanpa rasa takut terhadap hukum, para pelaku terus menggerogoti ruang hidup masyarakat dan ekosistem yang mestinya dilindungi.
PETI di Pohuwato bukan hanya soal kerusakan lingkungan. Ia adalah bentuk nyata pelecehan terhadap hukum, pencemaran terhadap kehormatan negara, dan pengingkaran terhadap hak-hak warga atas tanah mereka sendiri.
Alih-alih mereda, praktik tambang ilegal justru semakin brutal. Para pelaku beroperasi dengan alat berat, menggali tanah dan mengacak-acak kawasan komunal yang secara hukum merupakan milik negara. Lebih menyakitkan lagi, mereka seolah tahu bahwa tak akan ada tangan kekuasaan yang benar-benar menindak.
Krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum pun tak terhindarkan. Warga menyaksikan sendiri bagaimana kawasan hutan yang dulunya hijau kini berubah menjadi kubangan lumpur yang beracun. Namun, suara dari para pejabat dan penanggung jawab hukum nyaris tak terdengar—terkubur bersama reruntuhan tanah yang dirusak.
Pada Jumat (30/5/2025), Hibata.id menerima laporan bahwa sejumlah titik PETI di wilayah ini telah menjadi target operasi penertiban oleh aparat. Namun, penertiban ini terkesan berlangsung di balik bayang-bayang, tanpa transparansi dan tanpa hasil konkret yang bisa dirasakan warga.
“Hari ini itu penertiban, cuma masih ada aktivitas PETI di komunal warga itu,” ujar seorang warga yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Pernyataan ini menegaskan bahwa upaya penertiban tidak menyentuh akar persoalan. Wilayah komunal yang secara hukum adalah milik negara kini seolah menjadi zona kekuasaan mafia tambang. Sumber daya alam dikuras habis-habisan tanpa izin, tanpa akuntabilitas, dan tanpa rasa tanggung jawab.
Yang lebih mengkhawatirkan, aktivitas ini terjadi secara terbuka, di siang hari, dengan lalu-lalang alat berat yang seolah tak tersentuh hukum. Negara seperti kehilangan daya—atau memilih untuk menutup mata.
Penegakan hukum tak bisa berhenti di barisan aparat berseragam di lapangan. Ia harus menjangkau lebih dalam—ke aktor intelektual, pemodal besar, dan oknum pelindung di balik layar yang selama ini membiarkan tambang ilegal tumbuh subur.
Jika tidak, penertiban hanya akan menjadi panggung sandiwara. Dan di balik tirainya, alam terus dijarah, rakyat terus menderita, dan hukum terus dilecehkan.