Hibata.id – Aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di Desa Popaya, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, terus berlangsung tanpa hambatan, bahkan beroperasi secara terang-terangan hanya beberapa meter dari Kantor Camat Dengilo. Fakta ini menjadi gambaran nyata lumpuhnya penegakan hukum dan tidak berfungsinya aparat penegak hukum (APH) di wilayah tersebut.
Pantauan Hibata.id pada Jumat (23/5/2025) menunjukkan keberadaan alat berat excavator yang bekerja tanpa henti sejak pagi hingga sore. Bumi dikuliti, hutan dibelah, dan lingkungan rusak parah akibat aktivitas tambang ilegal tersebut. Tidak ada upaya penyamaran. Semua berlangsung terbuka, seolah-olah tambang itu sah dan dilindungi.
Yang lebih mengejutkan, tambang ini berada di belakang Kantor Camat Dengilo—sebuah simbol pemerintahan lokal yang seharusnya menjadi garda depan dalam pengawasan dan penegakan aturan. Namun hingga saat ini, tidak ada satu pun tindakan tegas dari pihak kecamatan maupun aparat kepolisian setempat.
Saat dikonfirmasi, Kapolsek Paguat yang baru dilantik memberikan jawaban normatif. “Mohon maaf, saya baru menjabat… masih dalam proses silaturahmi dan koordinasi,” ujarnya kepada Hibata.id, Sabtu (24/5/2025).
Sementara itu, Camat Dengilo, Zakir Ismail, enggan memberikan komentar meskipun aktivitas PETI terjadi nyaris di pekarangan kantornya. Kapolres Pohuwato pun belum memberikan tanggapan atas kondisi ini.
Seorang warga Popaya yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa aktivitas PETI sudah berlangsung cukup lama. “Semua orang tahu. Tapi tidak ada yang berani menindak,” ujarnya.
Warga juga menyebut adanya keterlibatan kelompok yang dikenal sebagai “Kelompok Joker”, yang diduga menjadi aktor utama di balik tambang ilegal tersebut. Kelompok ini disebut-sebut memiliki pengaruh besar dan mampu “mengatur” situasi agar tambang tetap berjalan tanpa hambatan hukum.
“Mereka yang atur semua. Pemerintah dan aparat seperti tidak berani menyentuh mereka,” tambahnya.
Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158, secara tegas menyatakan bahwa setiap aktivitas tambang tanpa izin dapat dipidana penjara hingga lima tahun dan dikenakan denda hingga Rp100 miliar. Namun di Dengilo, pasal tersebut seolah tak berlaku.
Akibatnya, kerusakan lingkungan semakin parah. Hutan rusak, sungai tercemar, dan ekosistem terganggu. Desa Popaya yang dulunya hijau kini dipenuhi lubang-lubang bekas galian. Kerusakan ini bukan hanya ancaman bagi lingkungan, tetapi juga masa depan generasi setempat.
Kehadiran tambang ilegal tepat di belakang kantor pemerintahan merupakan simbol paling jelas dari lemahnya negara dalam menegakkan hukum. Pemerintah kecamatan dan aparat kepolisian seolah kehilangan daya dan fungsi. Diamnya mereka justru memperkuat dugaan bahwa ada pembiaran sistemik atau bahkan keterlibatan terselubung.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan semakin terkikis. PETI di belakang Kantor Camat Dengilo adalah bukti telanjang bahwa aparat penegak hukum di daerah ini tak berfungsi sebagaimana mestinya—dan bagi rakyat, itu berarti hukum tidak lebih dari lelucon pahit.