Opini

Sekolah Rakyat: Solusi Pengentasan Kemiskinan atau Produksi Kemiskinan Struktural Baru?

×

Sekolah Rakyat: Solusi Pengentasan Kemiskinan atau Produksi Kemiskinan Struktural Baru?

Sebarkan artikel ini
Mohamad Arya Hanapi – Kader LMND Eksekutif Kabupaten Gorontalo
Mohamad Arya Hanapi – Kader LMND Eksekutif Kabupaten Gorontalo

Oleh: Mohamad Arya Hanapi – Kader LMND Eksekutif Kabupaten Gorontalo

Opini – Beberapa waktu belakangan, jagat diskusi publik, terutama di kalangan akademisi dan mahasiswa, ramai memperbincangkan sebuah program baru dari Kementerian Sosial: Sekolah Rakyat. Program ini, yang digadang-gadang sebagai terobosan dalam upaya pengentasan kemiskinan, menuai banyak pujian sekaligus kritik tajam.

Scroll untuk baca berita

Di atas kertas, niatnya mulia: memberikan pendidikan gratis bagi masyarakat kelas bawah, membuka jalan keluar dari belenggu kemiskinan, dan menciptakan keadilan sosial dalam akses pendidikan.

Namun, di balik semangat itu, muncul sejumlah tanda tanya besar. Benarkah Sekolah Rakyat adalah solusi? Ataukah ia justru bagian dari masalah yang lebih besar—yakni penciptaan bentuk baru dari kemiskinan struktural?

Saya mulai menaruh perhatian pada isu ini setelah membaca pernyataan resmi dari pihak Kementerian Sosial yang menyatakan bahwa lulusan Sekolah Rakyat akan mendapat ijazah yang diakui dan setara dengan sekolah formal lainnya.

Sekilas, ini terdengar menggembirakan. Tapi ketika saya merenung lebih dalam, pertanyaan besar mulai muncul: jika memang setara, untuk apa mendirikan sekolah baru yang hanya menggandakan fungsi sekolah yang sudah ada? Mengapa tidak memperbaiki dan memperkuat sekolah formal yang sudah berdiri sejak lama?

Pemerintah menargetkan pembangunan 100 unit Sekolah Rakyat pada tahun 2025. Anggarannya tidak main-main—sekitar Rp100 miliar per sekolah. Jika dikalikan jumlah target, totalnya mencapai Rp10 triliun.

Baca Juga:  Supremasi Sipil, Refleksi Tentang Realitas dan Harapan

Dana sebesar ini, tentunya, bukan datang dari ruang kosong. Sekitar 70% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak rakyat, termasuk dari masyarakat kelas bawah yang justru menjadi target penerima manfaat program ini.

Inilah letak ironi pertama. Sekolah Rakyat diklaim sebagai jalan keluar dari kemiskinan, namun dibiayai oleh kontribusi masyarakat yang sama—yang sehari-harinya harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup. Bukankah ini secara tidak langsung menciptakan ketergantungan baru yang dibungkus dengan bahasa “pemberdayaan”?

Jika benar program ini bertujuan untuk memperjuangkan keadilan pendidikan, mengapa tidak menggunakan dana tersebut untuk menaikkan gaji guru honorer yang selama ini bekerja tanpa kepastian? Mengapa tidak memperluas akses beasiswa untuk siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu? Atau memperbaiki ribuan gedung sekolah negeri yang kondisinya memprihatinkan? Bukankah itu langkah konkret yang lebih relevan?

Saya mencoba menelusuri lebih jauh dari sisi hukum. Beberapa regulasi memang disebut sebagai dasar hukum Sekolah Rakyat, mulai dari UUD 1945 Pasal 31 hingga Peraturan Presiden terbaru tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun, yang paling janggal adalah posisi Sekolah Rakyat dalam konteks sistem pendidikan nasional.

PP Nomor 57 Tahun 2021 menyebutkan jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal, dan informal. Sekolah Rakyat, dalam narasi Kementerian Sosial, diposisikan setara dengan sekolah formal.

Baca Juga:  Tak ada yang Spesial di HUT Kabupatan Gorontalo yang ke-351 Tahun

Tetapi jika demikian, di mana posisinya secara legal dan administratif? Apakah lembaga ini akan berada di bawah Kemensos selamanya? Bagaimana mekanisme akreditasi, kurikulum, dan pengawasan mutunya? Siapa yang menjamin bahwa lulusan sekolah ini benar-benar setara kompetensinya dengan lulusan SMA atau SMK yang mengikuti pendidikan formal tiga tahun?

Dalam keadaan ini, saya melihat Sekolah Rakyat seperti “jalur pintas” tanpa arah yang jelas. Ketimbang menyederhanakan masalah, ia justru menciptakan kompleksitas baru yang bisa berujung pada marginalisasi kelompok yang ingin dibantunya.

Masyarakat kelas bawah bisa saja tertarik karena embel-embel “gratis”, namun akan menanggung risiko dalam jangka panjang jika ijazah yang mereka terima tidak benar-benar bernilai di mata dunia kerja atau pendidikan tinggi.

Sampai hari ini, Indonesia memiliki sekitar 14.799 SMA, terdiri dari 7.131 sekolah negeri dan 7.668 sekolah swasta. Di tingkat perguruan tinggi, kita punya lebih dari 4.000 kampus, dengan 326.554 dosen dan lebih dari 9 juta mahasiswa.

Artinya, negeri ini sejatinya tidak kekurangan institusi pendidikan. Yang kita kekurangan adalah orientasi—visi dan arah yang jelas tentang untuk siapa pendidikan ini dibangun, dan bagaimana pendidikan bisa menjadi alat untuk membebaskan, bukan memperbudak secara sistemik.

Kita hidup dalam sistem pendidikan yang masih terlalu formalistik, yang menjadikan sekolah sebagai mesin produksi ijazah, bukan pengembangan potensi manusia. Dalam banyak kasus, kurikulum lebih sibuk membentuk kepatuhan daripada kreativitas, dan lebih fokus pada hasil ketimbang proses.

Baca Juga:  Setelah Satu Dekade, Kembalinya Adhan Dambea dan Politik Populisme

Maka, ketika hadir Sekolah Rakyat dengan klaim “revolusioner”, masyarakat berhak curiga: apakah ini benar-benar upaya membebaskan, atau hanya proyek baru yang sarat politisasi dan kepentingan?

Pendidikan hari ini sudah tidak lagi sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. Banyak yang merasa bahwa dunia pendidikan hanya menjadi ajang persaingan, seleksi sosial, dan perpanjangan tangan dari sistem kapitalisme global. Pendidikan bukan lagi hak, tapi menjadi privilese yang hanya dinikmati mereka yang memiliki modal.

Saya percaya bahwa kita tidak kekurangan sekolah—kita kekurangan arah. Kita tidak kekurangan anggaran—kita kekurangan keberanian untuk mengubah sistem dari dalam. Pemerintah seharusnya tidak sibuk membangun sekolah baru dengan konsep yang belum teruji.

Sebaliknya, pemerintah harus fokus memperkuat sistem yang sudah ada, memperbaiki kualitas guru, memperluas akses beasiswa, dan memberikan pendidikan gratis yang benar-benar bermakna di sekolah formal.

Sekolah Rakyat mungkin dimaksudkan sebagai solusi. Tapi tanpa arah, tanpa evaluasi mendalam, dan tanpa keberpihakan yang nyata, ia bisa saja menjadi simbol kegagalan kita dalam memahami akar masalah kemiskinan itu sendiri.

Bukan sekolah baru yang kita butuhkan, tapi cara berpikir baru tentang pendidikan: bahwa ia adalah alat pembebasan, bukan instrumen kontrol.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600