Arief Abbas/Orang Gorontalo
Tak ada hal baru di dalam tulisan Inkrianto Mahmud berjudul Masa Tenang, Refleksi Perputaran Dana saat Kampanye dalamEkonomi Lokal Gorontalo yang terbit pada 25 November 2024 di hibata.id. Tulisan itu hanya mengulang anjuran Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) №13 tahun 2024 bahwa masa tenang “adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye pemilihan”, namun oleh Inkrianto, ditulis dengan gaya yang bikin dahi mengernyit setengah mati: “periode yang penting untuk memastikan proses pemilihan berjalan adil dan tanpa gangguan dari aktivitas kampanye”. Padahal, ia bisa menyederhanakan kalimat itudengan aturan PKPU, tapi memilih menyulitkannya.
Dalam satu tulisan utuh itu, Inkrianto mau tiga hal: pertama, masa tenang itu ruang agar warga diberikan waktu untuk merenungkan pilihan-pilihan mereka menjelang hari penyoblosan; para elit politik yang sebenarnya “tidak tenang” pada masa tenang; dan terakhir, ekonomi masyarakat, khususnyaUMKM, bergerak signifikan karena aktivitas kampanye selama kurang lebih tiga bulan belakangan. Tulisan ini akan menjadi tanggapan atas tiga tesis kunci yang dikemukakan Inkrianto tersebut. Di bagian akhir, saya akan menyertakan beberapa catatan akhir yang pendek soal Pemilu.
Minggu Tenang
Inkrianto benar ketika mengatakan bahwa masa tenang merupakan ruang di mana warga merenung untuk menentukan pilihan. Setidaknya, itu cita-cita sejati dari masa tenang sesuai aturan yang dipaparkan di atas. Namun sebenarnya, tidak ada“perenungan” di dalam masa tenang. Masa tenang justru menjadi momen “kampanye habis-habisan” oleh setiap parpollewat Tim Sukses dengan “serangan fajar”. Jadi, masa tenang hanya di atas kertas saja. Pada praktiknya, masa tenang adalahmasa paling kacau.
Situasi ini juga tidak lahir dalam ruang vakum sejarah. Pada mulanya, masa tenang itu pertama kali dilakukan pada Pemilutahun 1971, dengan nama “Minggu Tenang” lewat peraturan yang dikeluarkan oleh Mendagri pada Pemilu pertama di masa pemerintahan Orde Baru Soeharto, yakni Jenderal Amir Machmud. Menariknya, aturan ini baru keluar dua minggu sebelum pencoblosan pada tanggal 3 Juli 1971 dengan pelaksanaan kampanye selama 60 hari. Tujuan Minggu Tenang tidak berbeda dengan apa yang disampaikan Inkrianto pada ulasannya: parpol tidak bisa melakukan kampanye sampai hari pemungutan suara, alat peraga harus dibersihkan, dan masyarakat diberi waktu untuk memikirkan siapa pilihannya dalam Pemilu nanti.
Namun, mengapa kebijakan tersebut lahir tiba-tiba? Tentu tidak. Minggu Tenang tidak lepas dari kemenangan Golkar pada pemilu tahun 1971 dengan perolehan suara 62,80%. Perlu dicatat, waktu itu, Golkar bisa ikut Pemilu meskipun statusnya bukan partai politik, melainkan organisasi politik dengan nama Sekretariat Bersama yang dibentuk Presiden Soekarno dan Angkatan Darat untuk menyeimbangkan kekuatan partai-partaipolitik. Tapi, bagaimana bisa?
Martinus Danang dalam Pemilu 1971: Pemilu Pertama Orde Baru dan Awal Dominasi Golkar (Kompas, 2023)mencatat bahwa Golkar mendapatkan privilese agar bisa berkontestasi pada Pemilu karena keberadaannya yang mendukung rezim pembangunan Soeharto, termasuk ikut dalam pembersihan kelompok kiri pada peristiwa 1965. Sebagai sebuah organisasi politik, Golkar memiliki kaki tangan sampai ke level akar rumput karena perangkat desa/kelurahan adalah pengurus inti Golkar. Cara Golkar mendapatkan simpati ini, menurut membuat mereka memiliki hak untuk dipilih setara denganpartai politik lainnya, namun tetap berstatus sebagai sekretariatbersama.
Lantas, apa hubungannya dengan Minggu Tenang? Kaki-kaki tangan Golkar itulah yang melakukan “Serangan Fajar” di masa ketika kampanye parpol berakhir dengan sedahsyat-dahsyatnya. Merekalah yang bertugas sebagai TS-TS (di masa sekarang ) di desa-desa untuk memastikan suara rakyat terkonsentrasi pada Golkar dan hal tersebut dibuktikan dengan suara yang diperolehnya pada Pemilu 1971 lebih dari 50%. Tentu sajaparpol juga ikut nimbrung dalam minggu tenang tersebut. Namun Golkarlah yang paling diuntungkan karena mereka didukung rezim. Di titik itu, apa yang disebut sebagai “ruang perenungan” ala Inkrianto sebenarnya adalah omong kosongkarena sampai akhir pun, kesempatan masyarakat untukmemikirkan siapa yang terbaik tak ada!
Perubahan “Minggu Tenang” menjadi “Masa Tenang” di era Reformasi juga tidak mengubah apa-apa selain menunjukkan watak korup Orde Baru yang eksis sampai saat ini, bahkan justrulebih parah dari sebelumnya. Semoga Inkrianto sudan menonton betapa curangnya Pemilu 2024 ketika Film Dirty Vote yang dirilis oleh Watchdoc (2024) menunjukkan keterlibatanpemerintah dalam memobilisasi suara lewat berbagai cara dan menghancurkan publik pemilih demi memenangkan kepentinganmereka sendiri atas nama kelancaran pemilu.
Tak Tenang bagi Elit?
Inkrianto menulis bahwa masa tenang justru tidak membuat para kandidat merasa “tenang”, namun justru was-was. Hal tersebut, bagi Inkrianto, karena para kandidat telah melakukan upaya apapun untuk menarik simpati pemilih selama masa kampanye. Ketakutannya, tulis Inkrianto, jika “para calon mungkin merasakhawatir ada pihak-pihak tertentu yang masih mencobamemengaruhi pemilih dengan cara-cara yang tidak sah, meskipun sudah ada larangan”. Benar mereka tidak tenang. Tapi jika alasannya hanya karena telah kampanye, saya rasa juga tidak.
Alasan paling masuk akal kenapa para kandidat ini merasa ketar-ketir karena modal politik (cost politik) yang telah dikeluarkanakan rugi jika mereka tidak menang. Angka-angka yang ditampilkan Inkrianto di akhir tulisan cukup menunjukkan haltersebut, di mana total akumulasi kampanye pemilihan gubernurhingga bupati dan walikota itu jumlahnya belasan hinggapuluhan miliar. Dana-dana kampanye ini bersumber dari dana pribadi, anggaran yang dikeluarkan lewat parpol pendukung, sumbangan pihak lain, serta alokasi dari APBN.
Sebenarnya, tidak masalah berapa dana kampanye tersebutasalkan tidak melebihi ketentuan UU №7 tahun 2017. DalamUU tersebut, untuk perseorangan, dana kampanye tidak bolehlebih dari 2.5 Miliar dan tidak boleh lebih dari 25 Miliar daripihak lain (terutama dari perusahaan). Jika lebih dari apa yang ditetapkan, maka KPU akan menyerahkan dana tersebut ke kas negara. Yang jadi soal justru efek yang ditimbulkan daribesarnya jumlah dana kampanye. Laporan Kompas tahun 2024 dengan tajuk Menyelisik Dana Kampanye Pemilu justrumengkuatirkan karena besarnya dana kampanye ini akandigunakan bukan saat kampanye, namun saat masa-masa tenangmelalui praktik “serangan fajar”. Pun jika salah satu kandidattersebut menang dengan dana kampanye yang besar itu, kekuatirannya adalah upaya balik modal atau balas budipascapemilu.
Selain itu, saya pikir, juga keliru ketika Inkrianto mengatakanbahwa jumlah dana kampanye yang miliaran itu dapatmendorong ekonomi lokal. Kita bisa berkaca misalnya pada Pemilu Presiden beberapa bulan kemarin. Ekonom Center of Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyatakan bahwabelanja kampanye tidak selalu signifikan mendorong ekonomidaerah. Sebab, kata Manilet, pola belanja kampanye cenderungterkonsentrasi pada vendor-vendor besar dari luar daerah, durasikampanye yang singkat, serta regulasi pembatasan dana kampanye yang tidak terllau besar dibanding skala ekonomidaerah secara keseluruhan”.
Pun jika menurut Inkrianto itu berpengaruh pada UMKM seperti percetakan, sewat tempat dan kenderaan, serta kebutuhanlogistik pemilihan, oleh Manilet, itu hanya bersifat temporer dan terbatas pada pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto(PDRB). Jika mau lebih signifikan, efeknya hanya berkisarantara 0,1–0,2% terhadap PDB, sebagaimana ujar pakarEkonomi UGM, Rijadh Djatu Winardi. Dengan demikian, takada perubahan signifikan dari besarnya jumlah dana kampanyedengan pertumbuhan ekonomi lokal.
Beberapa Catatan Akhir
Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan 27 November 2024 yang pada akhirnya akan menghasilkan pemimpin barubukanlah kemenangan rakyat, melainkan kemenangan elit yang bersembunyi dibalik jubah “kemenangan rakyat”. Ketika satuelit tumbang, yang menang bukan rakyat, melainkan elit yang baru. Jika orang-orang berpikir bahwa setelah satu kandidatmenang dan yang lainnya tumbang mereka akan bermusuhan, maka sekiranya itu salah besar. Mereka justru akanmerekonsiliasi diri dan partai kembali pemilu selesai denganberbagai mekanisme-mekanisme politik tertentu. Dengandemikian, Pemilu/Pilkada sebenarnya bukanlah pesta rakyat, melainkan pesta para elit untuk mempertahankan kekuasaanya.
Namun tentu saja, dengan ini, saya tidak bermaksudmengarahkan publik untuk tidak memilih. Memilih dan tidakmemilih pada akhirnya adalah urusan pribadi seseorang. Namun, sikap tidak pernah belajar dari segala kegagalan-kegagalan yang terjadi dari setiap rezim adalah hal yang semestinya perludikoreksi secara kritis bahkan, jika perlu, mengambil jarakdengan hal tersebut sembari melakukan “perlawanan sehari-hari”. Tapi toh, siapa peduli soal itu? Jika ada, mereka serupalilin-lilin kecil yang berupaya terus menyala di antara cahayalampu dan terpaan badai.
Di Gorontalo, kesadaran semacam ini semakin redup. Saya pikirbegitu setelah melihat kokohnya konsolidasi pada tataran elithingga mahasiswa. Belakangan, saya tak percaya lagi slogan bahwa “mahasiswa adalah agen revolusioner”. Justrukecenderungannya, baik secara individu dan terikat pada organisasi-organisasi kemahasiswaan saat ini memiliki relasiyang baik dengan para elit politik. Keterlibatan mereka bukansaja pada kongko-kongko di warung kopi, namun juga secarapraksis menjadi Tim Sukses bahkan menjadi anggota partaisejak dini. Jika Anda melihat mereka melakukan aksi-aksi di jalanan untuk merespons satu isu, saya pikir Anda harus ragu seragu-ragunya: apakah aksi mereka murni untuk rakyat atauuntuk kepentingan para elit?
Keraguan yang sama juga barangkali bisa Anda gunakan besok, sebelum masuk ke dalam bilik-bilik pemungutan suara dan menyoblos salah satu kandidat: apakah para elit yang berkontestasi besok itu sepenuh-penuhnya memang bercita-citauntuk kepentingan rakyat, atau kepentingan diri dan partainyasendiri?***