Hibata.id — Di Patilanggio, hukum yang seharusnya menjadi tameng rakyat justru diduga berubah menjadi tameng pelaku tambang ilegal. Nama Kapolsek Patilanggio, IPDA Yudi Srita Salim, kini disorot tajam publik. Bukan karena prestasi, melainkan karena dugaan keterlibatannya dalam jaringan tambang emas ilegal di Desa Balayo.
Saat dikonfirmasi Hibata.id pada Sabtu (26/4), Kapolsek Yudi memilih bungkam. Tak hanya itu, ia bahkan diduga memblokir nomor wartawan. Bukannya memberi klarifikasi, IPDA Yudi malah menghilang—sebuah sikap yang makin mempertebal aroma busuk yang menyelimuti kasus ini.
Dugaan bahwa Kapolsek “sudah masuk angin” bukan tanpa dasar. Sebuah excavator yang diduga milik Ka Uwa—bos tambang ilegal Balayo—sempat disita dan dipasangi garis polisi. Namun alih-alih dibawa ke Polres Pohuwato sesuai prosedur, alat berat itu justru dialihkan ke Polsek Patilanggio. Hanya beberapa jam ditahan, excavator tersebut “di lepas”, tanpa surat resmi, tanpa keterangan.
Pertanyaannya sederhana: Siapa yang memerintahkan pelepasan alat berat itu? Atas perintah siapa? Semua dugaan mengarah pada “Tim Joker” sebuah kelompok mafia tambang yang disebut-sebut mengendalikan jalannya operasi pertambangan ilegal di Balayo. Mereka bisa dibilang pemain baru, punya jaringan, struktur, bahkan—yang lebih mengerikan—pelindung berseragam.
Menurut informasi yang dihimpun Hibata.id, Tim Joker muncul sebagai kekuatan baru pasca penangkapan alat berat pada 13 April 2025. Sejak itu, peta kekuasaan tambang berubah. Dengan taktik lama—sogokan, pembelian loyalitas, dan pembungkaman aparat—mereka memperluas cengkeramannya.
Uang menjadi kunci. Dengan tarif setoran Rp50 juta per alat berat per bulan, pengusaha tambang membeli “perlindungan”. Sistem berjalan rapi. Para pelaku tahu ke mana harus setor, dan para oknum tahu siapa yang harus dilindungi. Semua terlihat legal, padahal sejatinya ini adalah perampokan kekayaan negara secara terang-terangan.
Sumber Hibata.id menyebut, Tim Joker dikendalikan oleh figur penting di institusi hukum nasional. Perlindungan dari atas inilah yang membuat aparat di bawah, termasuk didiga Kapolsek Patilanggio, tak berkutik—atau bahkan disinyalir ikut bermain.
Salah satu anggota lapangan Tim Joker bahkan disebut-sebut mantan Presiden BEM dari kampus swasta ternama di Gorontalo. Ini bukan gerombolan preman biasa. Ini mafia berseragam rapi, bertutur akademis, dan lihai bermain di wilayah abu-abu hukum.
Yang lebih mengenaskan, masyarakat tahu semua ini. Tapi siapa yang bisa melawan, ketika pelindung berubah menjadi penjarah?
Balayo kini bukan hanya ladang emas, tapi juga ladang konflik antar geng tambang. Sebelum Tim Joker menguasai, area ini sudah dikuasai kelompok lain. Namun, pasca perubahan kekuasaan di tingkat atas, dominasi pun bergeser. Kini, dua kubu saling sikut—dari pengerahan massa hingga laporan hukum tandingan.
Di balik drama rebutan lahan dan setoran, korban utamanya adalah negara. Pohuwato kehilangan emasnya. Lebih parah lagi, kehilangan harga dirinya. Tambang ilegal terus menggerogoti. Setoran terus mengalir. Hukum? Dipermainkan, diperjualbelikan, jadi topeng untuk melindungi kerakusan.
Kapolsek Patilanggio, yang seharusnya menjadi simbol netralitas hukum, kini berada di tengah pusaran kecurigaan. Diamnya bukan lagi sikap pasif—tetapi sebuah pernyataan keras: bahwa hukum di Patilanggio bisa dibeli.
Selama pertanyaan-pertanyaan ini tak terjawab, publik akan terus berspekulasi: bahwa di Patilanggio, hukum bukan untuk ditegakkan, melainkan untuk dinegosiasikan.