Scroll untuk baca berita
HeadlineKabar

Di Tengah Lumpur dan Duka, Muncul Pahlawan Kecil Bernama Fahmi

×

Di Tengah Lumpur dan Duka, Muncul Pahlawan Kecil Bernama Fahmi

Sebarkan artikel ini
Fahmi. Usianya baru 9 tahun. Ia adalah siswa kelas 3 SD Negeri 5 Wanggarasi. (Foto: Dok. Istw Hibata.id)
Fahmi. Usianya baru 9 tahun. Ia adalah siswa kelas 3 SD Negeri 5 Wanggarasi. (Foto: Dok. Istw Hibata.id)

Hibata.id – Sore itu, langit di Wanggarasi tampak bersih dan tenang, seolah berusaha menyembunyikan luka yang masih menganga di Desa Tuweya, Kecamatan Wanggarasi, Kabupaten Pohuwato. Namun ketenangan langit tak mampu meredam amarah dan kesedihan mendalam yang dirasakan warga pasca banjir bandang yang melanda hebat pada Jumat malam (21/6/2025).

Musibah itu menyapu bersih rumah dan harta benda warga, merenggut dua nyawa, serta menewaskan belasan hewan ternak. Puluhan keluarga kehilangan segalanya hanya dalam hitungan menit. Lumpur tebal, puing-puing rumah, dan reruntuhan yang berserakan menjadi saksi bisu kehancuran di desa kecil itu.

Scroll untuk baca berita

Namun di tengah kubangan lumpur dan kepanikan yang belum usai, muncul sosok kecil yang menggugah nurani siapa pun yang melihatnya. Seorang bocah laki-laki duduk sendiri di atas sofa tua yang basah di pinggir jalan. Wajahnya dekil, tubuhnya kotor berlumuran lumpur. Namun di tangannya tergenggam sebungkus nasi, yang ia makan dengan lahap sambil sesekali menengadah menatap langit.

Baca Juga:  Obat dan Bahan Medis di RSTN Boalemo Dibeli Tak Sesuai Ketentuan Batas Kadaluarsa

Namanya Fahmi. Usianya baru 9 tahun. Ia adalah siswa kelas 3 SD Negeri 5 Wanggarasi. Meski rumahnya selamat dari terjangan banjir, Fahmi sudah berada di lokasi bencana sejak pagi. Ia ikut membantu warga—menyapu lumpur, mengangkat barang-barang ringan, membawakan ember air, hingga membersihkan meja-meja sekolah yang tertutup lumpur.

Tanpa keluhan. Tanpa air mata. Tanpa pertanyaan. Sementara anak-anak seusianya mungkin lebih memilih bermain atau mengungsi, Fahmi justru memilih ikut berjibaku dengan lumpur. Ia tak tahu arti kata “pengabdian”, namun tindakannya hari itu lebih fasih dari seribu teori.

Satu bocah kecil mengajarkan kita makna kemanusiaan yang sesungguhnya. Tanpa seragam relawan. Tanpa sorotan kamera. Tanpa jabatan, dan tanpa pamrih. Fahmi hadir dengan satu hal: ketulusan. Dan itu cukup untuk menjadikannya sosok paling besar hari itu.

Kehadiran Fahmi bahkan membuat para wartawan terdiam. Mereka yang datang bersama rombongan bantuan dari Persatuan Pers Pohuwato dan Baznas awalnya sibuk mengabadikan tumpukan bantuan. Namun begitu melihat Fahmi, lensa mereka berpaling. Seorang jurnalis menyodorkan sebotol air mineral, yang ia terima dengan sopan—tanpa banyak bicara, tanpa drama.

Baca Juga:  Kopolres Diminta Jangan Setengah Hati untuk Berantas PETI Pohuwato

“Orang tuanya kerja serabutan. Tapi mereka selalu hadir kalau ada warga yang butuh bantuan. Fahmi hanya mengikuti kebiasaan itu. Walau masih kecil, jiwanya besar,” ungkap Kepala Desa Tuweya, Daud Adam, di lokasi pengungsian.

Nilai-nilai kemanusiaan rupanya telah tumbuh di rumah kecil Fahmi. Bukan dari pelajaran sekolah atau ceramah panjang, tapi dari teladan: kerja keras, gotong royong, dan rasa peduli. Nilai-nilai yang kini kian langka di tengah masyarakat yang makin individualistis.

Di tengah lumpur dan reruntuhan, Fahmi menjadi simbol harapan. Ia tak memaki pemerintah. Tak menunggu bantuan. Tak menyoal takdir. Ia hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan—dan itu sudah jauh lebih bermakna dari sekadar unggahan simpati di media sosial.

Baca Juga:  PETI di Pohuwato Dibakarkan Diterbitkan, Tapi Polisi Tak Membenarkan

Kisah Fahmi bukan untuk dikasihani. Ia bukan korban. Ia pahlawan—pahlawan kecil yang datang tanpa diminta, tanpa panggilan, dan pergi tanpa tuntutan. Namun kehadirannya menjadi cermin, bahkan cambuk, bagi kita yang selama ini hanya menonton dan saling menyalahkan.

Fahmi mengingatkan kita bahwa menjadi manusia sejati bukan soal usia, gelar, atau kekuasaan. Tapi tentang kemauan untuk peduli dan bertindak. Di saat banyak pejabat sibuk dengan pencitraan dan retorika, seorang bocah sembilan tahun telah lebih dulu bertindak nyata.

Mungkin dunia tak akan mencatat namanya. Tapi bagi warga Tuweya—dan siapa pun yang menyaksikan hari itu—Fahmi telah menyalakan kembali api kemanusiaan. Ia bukan sekadar anak kecil. Ia adalah pesan. Pesan bahwa kita tak perlu menunggu jadi siapa-siapa untuk bisa membantu sesama.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600