Hibata.id – Di hadapan langit malam dan gema ayat suci yang belum sepenuhnya reda, Wali Kota Gorontalo, H. Adhan Dambea, mengeluarkan pernyataan yang mengandung nada tegas sekaligus ajakan: Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadits (STQH) tak boleh berhenti sebagai panggung tahunan. Ia harus tumbuh menjadi gerakan kultural—mengakar dan membumi di kehidupan masyarakat.
“STQH bukan sekadar lomba. Ini adalah jalan untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan kita sehari-hari,” ujar Adhan saat menutup gelaran STQH ke-28 tingkat Kota Gorontalo, Kamis (1/5/2025) malam.
Bagi Adhan, ajang yang selama ini dipandang seremonial harus dimaknai lebih dalam. STQH, katanya, punya daya dorong strategis untuk membangun kesadaran kolektif atas pentingnya Al-Qur’an dan Hadits sebagai fondasi moral masyarakat. Nilai-nilai itu, lanjutnya, mesti dipraktikkan bukan hanya di masjid atau pesantren, tapi juga di ruang-ruang domestik, di sekolah, hingga ke kantor pemerintahan.
“Budaya membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an harus jadi denyut hidup. Ia harus ada di rumah-rumah, ruang kelas, bahkan di balik meja kerja pegawai negeri,” ucapnya.
Adhan juga menekankan bahwa keberhasilan STQH tak bisa hanya diukur dari seberapa rapi pelaksanaan atau banyaknya peserta. Indikator sejatinya adalah bagaimana acara ini mampu membentuk karakter masyarakat yang religius dan berakhlak. Ia menyebut, di tengah derasnya arus digital dan pergeseran nilai, STQH bisa menjadi jangkar spiritual yang menstabilkan arah kehidupan warga Kota Gorontalo.
Sebagai bentuk keseriusan, pemerintah kota berkomitmen memperkuat berbagai program keagamaan seperti pengembangan Remaja Masjid, Khatam Qur’an Raya, dan pembinaan intensif pasca-STQH. “Kita ingin Serambi Madinah ini dikenal bukan hanya karena sebutannya, tapi karena karakternya—masyarakat yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup,” kata Adhan.
Ia juga menggandeng semua pemangku kepentingan: tokoh agama, pendidik, pengurus masjid, hingga aparat birokrasi. Menurutnya, membangun budaya Qur’ani bukan tugas satu-dua pihak, melainkan tanggung jawab kolektif yang harus dipikul bersama.
“Julukan ‘Serambi Madinah’ bukan sekadar slogan. Ia harus dibuktikan dengan perilaku. Dengan akhlak. Dengan masyarakat yang rukun, santun, dan berpegang teguh pada nilai-nilai ilahiah,” tutup Adhan—dengan nada yang tak sekadar menasihati, tapi juga menggugah.