Scroll untuk baca berita
HeadlinePeristiwa

Banjir Bandang di PETI Hulawa, Dua Nyawa Operator Alat Berat Melayang

×

Banjir Bandang di PETI Hulawa, Dua Nyawa Operator Alat Berat Melayang

Sebarkan artikel ini
Tim Operasi SAR Pohuwato saat melakukan evakuasi kepada korban. (Foto: tim Operasi SAR Pohuwato)
Tim Operasi SAR Pohuwato saat melakukan evakuasi kepada korban. (Foto: tim Operasi SAR Pohuwato)

Hibata.id – Hujan deras yang mengguyur pegunungan Hulawa pada dini hari itu bukan sekadar cuaca buruk. Ia datang seperti pengadil murka—menghantam tanpa ampun, menyapu dua nyawa yang sedang bertarung dengan nasib di pinggir sungai, di jantung pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Dusun Hele, Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia

Reynol Singal dan Emin bukan nama yang terukir di batu peringatan. Mereka bukan pejabat tambang, bukan pemilik alat berat. Mereka hanya operator—tulang punggung dari industri gelap yang terus menggali perut bumi tanpa izin, tanpa standar keselamatan, tanpa jaminan hidup.

Scroll untuk baca berita

Pagi itu, Senin, 2 Juni, keduanya tak sempat pulang. Hujan mengguyur sepanjang malam, merendam tanah, memicu aliran sungai yang berubah jadi monster. Dari hulu, air bah datang seperti peluru kendali. Tak ada sirine. Tak ada aba-aba. Hanya suara gemuruh dan tubuh-tubuh yang lenyap.

Baca Juga:  Kebakaran di RSUD MM Dunda, Dokumen Penting Hingga Kerugian Ratusan Juta

Mayat pertama ditemukan siang hari oleh warga yang tengah menyusur aliran sungai. Tubuh itu—dilumuri lumpur, membiru, terjepit di antara bebatuan—adalah jasad Reynol, warga Minahasa Utara. Ia ditemukan dalam kondisi mengenaskan, wajah separuh tenggelam lumpur, tangan seolah menggenggam udara terakhir.

Teriakan menggema. Warga berhamburan. Laporan menyebar cepat ke aparat dan relawan. Medan berat, peralatan seadanya, air masih mengamuk—namun evakuasi tetap dilakukan. Bukan karena ada perintah, tapi karena nurani menolak diam.

Menjelang petang, sekitar pukul 17.00 WITA, jasad kedua ditemukan. Satu kilometer dari lokasi pertama. Emin, warga Paguyaman, ikut terbawa arus. Penuh lumpur, nyaris tanpa rupa. Lengkap sudah tragedi hari itu.

Bencana yang Dipanen

Aqun T. Marali, Pelaksana Harian Pos SAR Marisa, menjelaskan bahwa penyebab kematian keduanya adalah air bah mendadak dari hulu. Ia bilang, mereka berada sangat dekat dengan aliran sungai dan tidak sempat menghindar.

Baca Juga:  Calon Jemaah Haji Asal Gorontalo Meninggal Dunia

“Ini murni kecelakaan karena faktor alam yang diperparah oleh aktivitas tambang ilegal,” katanya.

Namun, publik tahu, ini bukan semata bencana alam. Ini adalah hasil panen dari pembiaran sistematis terhadap tambang-tambang liar yang menancapkan kaki di tepi maut.

Tambang itu berdiri tanpa izin. Menggerus lereng, membendung jalur air, dan menempatkan manusia sebagai pengorbanan. Dalam logika bisnis gelap itu, nyawa cuma variabel tak tercatat. Mereka yang jatuh takkan masuk laporan keuangan.

Mince, kerabat Reynol, tak bisa menyembunyikan duka. “Dia hanya kerja untuk keluarga. Tapi tempat kerjanya malah jadi liang kubur,” ujarnya dengan mata bengkak menahan tangis.

Baca Juga:  Banjir Bandang Terjang Dua Desa di Pohuwato, Dua Warga Tewas Terseret Arus

Tambang ilegal di Pohuwato bukan cerita baru. Berkali-kali ditertibkan, berkali-kali pula tumbuh kembali—seperti jamur yang diberi pupuk basah bernama pembiaran. Di balik ekskavator dan dompeng, ada struktur gelap yang menjaga aliran emas tetap hidup.

Sementara itu, petaka terus bergulir. Bencana demi bencana datang, bukan dari langit semata, tapi dari kerakusan yang dibiarkan tumbuh di atas tanah longgar dan sistem pengawasan yang ompong.

Kini, dua jenazah telah diserahkan ke keluarga. Tapi luka yang mereka tinggalkan tak mudah hilang. Di hilir sana, Sungai Hele tetap mengalir. Dan siapa pun tahu, jika tambang-tambang itu tak dibenahi, air bah berikutnya hanya menunggu giliran.

Karena bukan hanya emas yang mereka gali. Tapi juga kuburan.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600